Minggu, 17 Oktober 2010

Seperti di Sekolah (Surat dari Adikku)

Today, I receive an email. An inspiratve, real life story and quite long from my beloved sister. Here they are (with few editing):

Seperti di sekolah, dalam kehidupan pun Allah memberikan ujian sesuai dengan apa yang telah kita pelajari.
baru beberapa hari belakangan ini saya mencoba memahami dengan pemahaman yang lebih dalam tentang ketidaksempurnaan dalam hidup, sangat terinspirasi dari komik the big O. Di komik itu diceritakan tentang sebuah lingkaran yang tidak sempurna, ada satu juring dari lingaran itu yang hilang (haha … kali ini kita tidak akan membahas perhitungan luas lingkaran tanpa juring kok) jadi ceritanya  lingkaran itu menyadari ada yang hilang dari hidupnya. Ia melakukan perjalanan dan mencari bagian yang hilang itu.

Sang lingkaran sangat menikmati perjalanannya, menikmati sinar matahari, menikmati mencium harumnya bunga, menyapa lebah, naik turun gunung ,dan bernyanyi dengan riang, sambil terus melakukan perjalanan, mencari dan terus mencari bagiannya yang hilang itu. Di tengah perjalanan kadang ia menemukan beberapa potongan, namun potongan-potongan itu tidak pas dengannya, ada yang terlalu besar, terlalu kecil, terlalu tajam, berbeda bentuk dan macam-macam lainnya. Sampai pada suatu hari sang lingkaran akhirnya menemukan potongan yang pas. Ia sangat gembira, dan akhirnya sang lingkaran itu pun menjadi The Full O, tanpa kehilangan satu juring pun.

Dengan riang gembira The Full O melanjutkan perjalanannya. Tapi sayang sekali, lingkaran itu sekarang melaju lebih cepat (teori fisikanya, benda yang berbentuk bulat akan menghasilkan gaya gesek yang lebih kecil ketika digelindingkan, dibanding dengan benda yang bulat yang berjuring sehingga percepatannya pun akan semakin besar)-hoho mari kita tinggalkan sejenak cerita tentang GLBB dan penerapan hukum Newton. Berlanjut ke sang lingkaran ya, sekarang ia bergerak dengn lebih cepat, ia tak sempat menikmati hangatnya sinar matahari, sambil mencium bunga, dan membiarkan seekor lebah cantik menempel pada dirinya, bahkan sekarang sang lingkaran tak bisa bernyanyi lagi. Lama kelamaan lingkaran itu menyadarinya dan ia pun memutuskan untuk melepaskan bagian itu kemudian kembali menikmati hidupnya. Walau dengan 1 juring bagian yang kosong…

Di akhir cerita ada sebuah pernyataan yang sangat saya suka, kurang lebih begini “ketika beranjak dewasa, kita aka memahami, bahwa tidak ada dalam kehidupan ini yang sempurna setiap orang sudah di desain dengan ketidaksempurnaan. Mungkin kita tidak menginginkannya, tapi ketidaksempurnaan itu akan terus mengikuti kita. Ketidaksempurnaan yang kita alami dalam hidup adalah suatu pelajaran bagi kita semua untuk
belajar empati dengan orang lain yang kurang beruntung dibanding kita. Dan dari setiap ketidaksempurnaan justru terdapat banyak pelajaran hidup”. Ya, benar sekali, kalau melihat lebih dalam, ketidaksempurnaan dalam hidup itulah yang membuat hidup menjadi begitu sempurna , ketidaksempurnaan itulah yang akhirnya membuat manusia bisa menghargai orang lain, karena hanya orang-orang yang sombong yang menganggap dirinya sempurna. Dan yang terpenting, karena ketidaksempurnaan lah manusia menjadi bisa belajar banyak hal untuk terus memperbaiki diri…

Belum selesai sampai disitu. Sepertinya Allah ingin  menguji seberapa besar pemahaman saya terhadap
pelajaran kali ini. Dan inilah saatnya....UJIAN.

9 oktober 2010. Sore itu, sepulang dari kampus, saya berencana main ke rumah bude, di daerah pondok labu, Depok. Sebenarnya saya belum kenal dan belum pernah ketemu sama bude dan keluarganya itu, dan saya juga baru tau kalau ada saudara yang tinggal di depok, dan sebenarnya lagi kalau di runut kekeluargaannya juga lumayan berjarak, bude itu anak dari kakaknya nenek saya yang dari ibu, hehe karena ga tau mau manggil apa, jadi dari awal di telpon panggil bude aja :D

Nah siangnya bude ngasih tau kalau sabtu sore pakde sama anak bude mau ke ITC Depok, jadi saya disuruh bareng aja dari sana. Sesampainya di ITC Depok, suasana ITC sore itu lumayan ramai, mungkin karena malam minggu. Saya memutuskan masuk dari pintu samping dan duduk di depan toko optik sambil memberitahu pakde kalau saya sudah sampai. Sekitar lima menit kemudian, dari pintu masuk terlihat dua orang berjalan ke arah saya. Yang satu seorang bapak-bapak berkaus merah, umurnya sekitar seumuran ayah, perawakannya pun mirip,di sampingnya ada seorang gadis, usianya mungkin sekitar 19 tahunan. Gadis itu terlihat cantik, tapi sayangnya belum berjilbab. Feeling saya, itu pakde, dan disampingnya itu mungkin Resti, anak bude yang pernah bude ceritakan lewat telpon. Dan ternyata dugaan saya tepat 100 persen. Kamipun saling bersalaman...

Hehe, ceritanya ko jadi kaya cerpen  gini ya? Sebenarnya ga ada yang terlalu spesial dari pertemuan sore itu , selesai bersalaman kami bertiga ke counter hp, makan-makan di foodcourt, belanja  sebentar, terus pulang.
Pakde banyak nostalgia tentang kisah ibu dan keluarga di tahun 1993, waktu saya masih tiga tahun dan belum ngerti apa-apa, jadi lumayan ga tergambar juga ceritanya,hehe. Tapi saya cukup senang mendengarkan pakde yang sangat antusias untuk bercerita bahkan sampai hal-hal kecil, seperti saat pacaran sampai akhirnya nikah sama bude. Dalam hati, “wah,sampai sebesar ini saya sendiri belum tau the love story of mom n dad”. Tapi, saya lumayan menikmati perbincangan bersama pakde sore itu. Buah jatuh tidak  jauh dari pohonnya. Resti juga tipe orang yang sangat welcome dan gampang akrab, kami pun saling bertukar cerita seputar kehidupan kuliah dari semester awal hingga sekarang.

“waktu semester awal di gundar, Resti ngekos ka, tapi Cuma seminggu.hehe”
“lho ko Cuma seminggu? Kenapa Res? kangen rumah ya?”
“Iya ka, Resti kangen bunda, malah waktu itu tengah malam Resti nangis gara-gara inget bunda, terus besoknya Resti langsung pulang, ga jadi ngekos…”
Saya hanya tersenyum mendengar statement itu, bukan bermaksud menertawakan Resti, tapi karena hati saya pun meng”iya” kan , bahwa saat kuliah saya juga seringkali merindukan sosok itu, ibu. Resti mungkin bisa merubah keputusannya untuk kembali pulang pergi ke rumah, but I cant do it. Saya harus menahan, bahkan ketika keinginan untuk pulang itu sudah memuncak, ada saja kendala yang membuat saya tidak dapat
memenuhinya, entah karena banyak tugas, jadwal ngajar, kegiatan asrama, ga ada ongkos. Ataupun kalau ada ongkos, saya menahan untuk tidak pulang kalau hanya sekedar bawa ongkos dan tidak bisa memberi apa-apa.
 
Ya, saat Resti cerita, saat pakde cerita , itu semua membuka lagi keinginan dalam diri saya tentang keluarga di rumah, tentang kerinduan untuk berbincang dan mengobrol bersama.

@ Counter HP
“Yah, Resti mau yang ini , boleh ?”
“Berapa mba?” Tanya pakde pada mba pemilik counter
“itu 1,1 pak, masih keluaran terbaru. Fiturnya juga lengkap,blablabla,…” jelas mba2 pemilik counter panjang lebar,
“HPnya kenapa,Res?”Tanya saya
“yang satu sih masih baik2 aja ka. Tapi yang satu lagi seminggu ini sering error, jadi mending Resti jual terus beli yang baru’
“Ooo..”
“Mau yang warna apa dek” Tanya pemilik counter langsung
“yang ini mba , oya Yah, resti beli mica juga ya?”
“micanya berapa mba?”
“20 ribu”
“yaudah kamu pilih tuh, kalau kata ayah, yang warna biru aja cocok sama warna hp kamu. Dyna mau sekalian isi pulsa juga?”
“Ngga pakde makasih..baru diisi ko pulsanya”
Beberapa menit kemudian, saya hanya diam, mengamati pakde yang sedang melakukan transaksi pembayaran, dan Resti yang sedang asik mengotak-atik hp barunya.

Sekelebat muncul dalam pikiran saya rasa iri. Saat hp saya hilang, saya harus kerja mati-matian (ga mati juga sih), ya intinya saya benar-benar harus ngumpulin uang buat beli hp baru, itupun saya beli hp bukan karena keinginan punya dua hp. Tapi memang kebutuhan primer untuk komunikasi, jarkom temen-temen jurusan, organisasi, atau buat panggilan ngajar. Saat itu saya benar-benar dalam kondisi butuh sedang saya ga bisa ngajak ayah ke counter, pilih hp yang saya ingin, dan tinggal minta ayah untuk bayar, ga peduli berapa harganya hpnya. Saat itu saya ga hanya nunggu waktu seminggu, tapi sampai 3 bulan, sampai akhirnya harus pinjem hp temen yang baterainya langsung ngedrop dan mati kalau ada panggilan masuk…

Nah itu tadi soal ujiannya. Saya merasa Allah benar-benar secara tidak langsung ingin menguji pemahaman
yang saya dapat, tentang ketidaksempurnaan dalam hidup yang diawal saya bilang. Justru ketidaksempurnaan itulah yang membuat hidup itu menjadi sempurna. Secara tidak langsung kejadian sore itu membuat saya seolah seperti lingkaran dikomik yang saya baca, lingkaran yang kembali merasakan ada bagian dari dirinya yang hilang.

Saya bertanya ke diri saya sendiri, Benarkah saya sudah paham? Benarkah saya bisa mempraktekkan apa yang saya pahami? Benarkah saya ikhlas? Bisakah saya seperti lingkaran itu? Yang tetap tersenyum , tetap bernyanyi, tetap riang dan menikmati hidup dengan 1 juring yang hilang? Selama di mobil menuju rumah bude saya berpikir. Sampai akhirnya muncul suatu loncatan impuls dalam neuron saya yang akhirnya membuat saya menyadari sesuatu; Bagian dari lingkaran itu tidak hilang! Ya, Bagian itu tetap ada, namun di tempat lain,

Dan itulah yang membuat sang lingkaran sempurna! Dan ketiadaan bagian itu justru digantikan dengan hal-hal yang jauh. Jauh lebih indah dalam hidup sang lingkaran. Saya menyadari, Ketika saya ga bisa sering-sering pulang ke rumah untuk ketemu keluarga dan mengobrol bersama mereka, justru Allah memberikan kami kesempatan untuk punya ikatan yang lebih kuat. Entah kenapa saya merasakan itu, rasa sayang yang tidak terdeskripsi, walaupun kami jarang bertemu. Ketika Ayah ga bisa membelikan saya hp baru, disitulah nikmatnya. In this case sama-sama beli hp baru, tapi Allah mungkin ingin membuat saya merasa bahagia bukan sekedar karena punya hp baru, tapi juga kepuasan karena bisa membelinya dengan kerja keras saya sendiri, sehingga saya bisa menghargai esensi bahwa sesuatu yang diperjuangkan sendiri itu memang lebih nikmat, karena di dalamnya tidak hanya sekedar hasil, namun juga nilai yang tersimpan dalam proses.

Ketika saya ga bisa pulang pergi ke rumah, ga bisa berbagi cerita dengan keluarga tentang apa yang saya alami di kampus, Allah menggantikannya dengan rumah baru. Bahkan ketika di semester awal saya sempat
mempertanyakan, kenapa ayah ga bisa menyewakan tempat kos sehingga saya harus cari-cari tempat tinggal sendiri. Sekarang saya malah mensyukuri itu semua. Bisa saja Ayah menyewakan saya tempat tinggal, tapi lagi-lagi… Allah ingin memberi saya lebih dari itu. Jauh lebih baik, jauh dari sekedar tempat tinggal, namun juga keluarga baru, 15 orang bidadari dunia yang sangat istimewa.

Ya memang, keindahan hidup ini adalah saat kita tidak selalu mendapat apa yang kita inginkan. Selalu ada ruang harapan, penantian, senyum dan luka. Saat kita tidak mendapat sesuatu yang kita inginkan, itu adalah simpang yang membuat kita menoleh pada yang lain. Membuat kita menghargai sisi kehidupan lain yang jauh lebih indah. Bukan saja berpikir dengan realita yang nyata, tapi Allah juga sedang mengajak kita berpikir dengan caraNya. Sungguh, setiap skenario Allah adalah kebaikan

Saya menutup jawaban saya dan menyimpannya, mungkin suatu saat saya memerlukannya lagi saat Allah memberikan “soal ujian” dalam bentuk yang lain.

You are great sis, greater than your brother here. And you also talented as a writer. It make me itchy to write something.

0 komentar:

Posting Komentar