Senin, 09 Mei 2016

Welcome to Bayah

Memang tidak ada karpet dengan tulisan “Welcome” di pintu lobby. Tidak ada spanduk bertuliskan “Selamat Datang”, selayaknya spanduk untuk menyambut pejabat yang datang ke suatu daerah. Yang menurut saya spanduk “Selamat Datang” itu tidak ada faedahnya, selain hanya seremonial belaka dan membuang-buang uang negara. Spanduk yang tidak ada manfaat praktis bagi rakyat yang memodali pembuatan spanduk melalui pajak. Spanduk yang hanya berarti bagi pejabat-pejabat yang ingin (gila) dihormati. Bukankah pejabat, pemimpin daerah, pemimpin apapun adalah pelayan bagi yang dipimpinnya. Lantas logika mana yang yang membuat pelayan disambut begitu berlebihan oleh yang dilayani. Ok, cukup kekesalan saya terhadap spanduk “Selamat Datang, Pejabat” yang ga banget. Back to Bayah.

Kalimat ini terinspirasi dari ucapan seorang yang baik hati ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di gedung tiga lantai berwarna putih. “Selamat datang di Bayah” ujarnya. Yang waktu itu saya artikan sebagai ‘Selamat datang di tempat terpencil’. Yang lantas saya baru mengerti belakangan, ungkapan itu berarti ‘Selamat datang di tempat yang indah yang penuh dengan pelajaran berharga’.

Memangnya Bayah itu indah? Kata orang, keindahan hanya bisa dilihat oleh orang yang punya keindahan dalam hatinya. Kalau Anda bilang Bayah itu tidak indah, Anda bisa menyimpulkannya sendiri. Memangnya Bayah itu menyimpan banyak pelajaran? Kalau Anda hanya lewat, mungkin tidak banyak atau tidak ada pelajaran yang bisa diambil. Namun jika Anda tinggal, bekerja, bertahun-tahun di Bayah. Sulit rasanya jika tidak ada pelajaran yang diambil, kecuali Anda termasuk tipe orang yang terjebak pada rutinitas.

Kata ‘selamat datang’ itu hanya diucapkan sekali oleh seorang manusia. Namun saya mendengarnya berkali-kali. Dari deretan pohon karet yang berbaris rapi, dari sungai yang mengalir ke laut lepas, dari horizon yang menyatu dengan langit, dari langit yang terlukis megah. Mereka tak punya mulut untuk berucap, tak punya tangan untuk merangkul, tak punya bibir untuk tersenyum. Pohon, sungai, horizon, langit, mereka tak perlu semua itu untuk mengucapkan ‘selamat datang’, mereka tidak butuh. Ucapan ‘selamat datang’ nya tidak melewati telinga, tidak melalui mata, namun langsung menembus jiwa.

Pertama kali tiba di Bayah, saya disambut dengan langit sore yang menjelang gelap, dengan pepohonan rindang di kiri kanan, dengan jalanan yang tidak rata, dengan hujan yang menambah kesan suram. Yang di kemudian hari ternyata itu semua hanyalah kamuflase semata, seperti kulit kasar sang kerang yang menyembunyikan berkilaunya mutiara yang ada didalamnya.

Sebenarnya apa yang saya tulis disini berlaku juga di belahan dunia manapun. Bukan hanya di Bayah. Keindahan itu milik Allah, keindahan itu tidak Allah letakkan di titik manapun di peta. Keindahan itu Allah letakkan di hati. Dimanapun posisi anda di peta, jika di hati Anda ada keindahan, Anda akan melihat keindahan itu melalui kedua mata Anda, mendengarnya dari kedua telinga, merasakannya dalam jiwa. Bagi saya, sulit untuk tidak melihat keindahan di Bayah.

Welcome to Bayah, welcome to it’s beauty.

Selasa, 03 Mei 2016

Road to Bayah

Anda pernah berkendara ke Pelabuhan Ratu? Jika sudah pernah, Anda pasti tahu seperti apa rutenya. Jika belum, sesekali Anda perlu menelusuri jalan tersebut. Tapi jangan berhenti di Pelabuhan Ratu, teruslah melaju melewati Jawa Barat menuju Banten, menuju pantai selatan nan indah. Melewati suatu wilayah bernama Bayah. Nama wilayah yang tak dikenal oleh banyak penduduk Indonesia, bahkan penduduk Banten sendiri. Daerah yang sampai saat tulisan ini ditulis, saya pun tidak tahu ada apa di Bayah sana. Hanya firasat yang berkata 'ada sesuatu' di Bayah. Suatu pelajaran hidup dari Ia yang tak pernah mati.

Saya rela, ikhlas, ridho, menelusuri jalan yang sempit, berkelak kelok, naik turun, terkadang rusak, selama berjam-jam. Demi mencari nafkah untuk keluarga. Menukar waktu, tenaga, dan pikiran demi anak supaya tetap sekolah dan istri supaya bisa tetap masak, dan bisa tetap belanja, dan bisa tetap ke salon, dan bisa tetap ikut arisan, dan bisa tetap... ah kebutuhan seorang wanita memang tiada habisnya.

Mengapa saya tidak mengambil jalan tol ke Bandung saja? Bukankah jalan tol Cipularang lebih lega, lebih bagus, lebih dekat, tidak berkelak kelok. Tentu saja itu pertanyaan yang bodoh. Saya kan tujuannya ke Bayah, masa iya memilih lewat Cipularang. Biarpun kata orang jalan ke Bandung via Cipularang lebih enak daripada jalan ke Bayah via Sukabumi. Bagi saya jalan manapun tetap tidak enak, karena mana ada aspal dan beton yang empuk dan manis.

Ya, sesulit apapun jalannya, jika jalan itu mengarah pada tujuan kita maka jalan itulah yang kita tempuh. Sebalinya, semudah apapun jalan yang terbentang, jika itu tidak mengantarkan kita pada tujuan, maka jalan itu tidak kita ambil. Right? Logika sederhana yang bahkan Anda pun paham.

Sayangnya logika anak SD tersebut nampaknya tak berlaku jika saya berhadapan dengan jalan hidup, seolah-olah logika tersebut hanya berlaku di jalan raya. Hidup ini ujungnya adalah mati. Setelah di ujung nanti, apa yang mau dituju? Mau kemana akhirnya? Sebagai orang yang normal, saya menjawab dengan yakin mau ke surga. Benarkah saya mau ke surga? Ketika jalan yang saya lewati nampaknya tidak menuju kesana!

Para nabi, mereka yang semasa hidupnya telah dijamin masuk surga ternyata tidak melewati jalan seperti yang selama ini saya tempuh. Para nabi melewati jalan dengan berbagai ujian, cobaan dan kesusahan. Jalan yang berekelok-kelok. Sementara kita sepertinya melewati jalan yang aman, nyaman dan berkecukupan. Jalan tol. Saya takut jalan yang saya tempuh selama ini salah.

Para nabi mengalami kelaparan sementara saya cukup makan minum. Para nabi pernah di caci di hina sementara saya berharap di puji dan di hormati. Para nabi bersusah payah mengorbankan waktunya demi agama sementara saya mengorbankan agama demi mendapatkan waktu untuk bersenang-senang. Ya Allah betapa jauh tersesat jalan yang telah hamba tempuh. Semoga Engkau masih memberikan jalan kembali.

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan). Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS. Al-Balad: 10 - 11) 

Ya Allah, perjalanan ke Bayah ini adalah salah satu ayat dari ayat-ayatMu. Dengannya Engkau mencoba mengingatkan saya untuk menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Jalan yang ditempuh para nabi, jalan yang ditempuh orang-orang soleh terdahulu. Berikanlah kami hikmah, berikanlah kami kekuatan. Berilah kami hati dan lidah yang tak pernah mengeluh, sesukar apapun jalan yang kami tempuh.

Selasa, 26 Januari 2016

There's No Growth in Comfort Zone and No Comfort in Growth Zone, Benarkah?

There is no growth in comfort zone, and no comfort in growth zone. Kalimat ini saya dapat dari buku Notes from Qatar-nya Muhammad Assad. Meskipun beliau lebih muda dari saya, akan tetapi saya lebih pantas memanggilnya sebagai beliau daripada menyebutnya sebagai 'dia'. Karena apa yang telah beliau lakukan, manfaat yang telah diberikannya kepada dunia lebih banyak dibanding apa yang sudah saya kerjakan dan saya berikan. Jangankan kepada dunia, kepada diri sendri dan keluarga pun saya masih merasa belum memberikan manfaat yang optimal. Belum mengerahkan seluruh kemampuan yang saya miliki.

Disini saya mencoba mengulas kalimat tersebut. Bagi saya kalimat tersebut quite true. Cukup benar dalam konteks tertentu, akan tetapi tidak bisa dimaknai secara umum. Benar karena saya pernah mengalaminya sendiri, ketika punya penghasilan cukup lumayan, ketika rezeki berupa harta sedang di lapangkan, ketika sedang berada di tengah-tengah keluarga. Ketika itu pula saya lalai untuk mengembangkan diri, malas belajar, terlena mempersiapkan masa depan yang lebih jauh lagi. Lupa untuk memperbanyak ibadah, lupa untuk berbagi ke sesama, lupa bahwa hidup itu bukan tujuannya untuk mendapatkan kenyamanan. My life was simply trap in comfortness.

Sampai suatu ketika Allah angkat kenyaman-kenyamanan tersebut, saya dikeluarkan dari pekerjaan. Yang tadinya kemana-mana diantar oleh supir dengan mobil dinas, sekarang kemana-mana harus bawa motor sendiri. Yang tadinya tidak peduli jika di luar hujan atau panas, sekarang cuaca menjadi faktor penentu untuk berpergian kemana-mana. Yang tadinya punya bawahan untuk disuruh-suruh, sekarang tidak ada lagi yang bisa disuruh-suruh. Hidup memang begitu, roda kehidupan pasti berputar, jadi ya tidak perlu terlalu heran dalam menghadapinya. Kalau tadinya di atas sekarang di bawah, yang sekarang di bawah pastinya juga nanti bisa ke atas lagi, iya kan? Yang penting kita tidak berhenti ikhtiar, beramal dan tawakal.

And when my life suddenly not in comfort zone again, I realize that there's the moment I'm growing much more. Ketika sudah tidak ada rutinitas ke kantor lagi, dari pagi hingga sore bahkan malam hari. Hari-hari saya diisi dengan lebih banyak shalat sunnah, menghafal quran, baca Al-Quran 1 juz per hari, olahraga pagi, membaca buku di perpustakaan, menulis, bertemu orang-orang baru, meluangkan waktu bersama keluarga, mengunjungi orang tua dan kerabat. Yang itu semua sedikit atau bahkan tidak sempat saya lakukan ketika masih bekerja. Aktivitas-aktivitas yang memperkaya pribadi saya secara spiritual, keilmuan, sosial, keluarga dan kesehatan. Itu semua malah jauh lebih baik meskipun harus ditimbang dengan menurunnya sisi finansial dari kehidupan saya. Yang saya yakin, segi finansial atau rezeki insyallah sudah dijamin.

Jadi hati-hati dengan comfort zone, jangan sampai kenyamanan membuat kita lupa bertumbuh. Memang hidup itu bukan untuk mencari kesengsaraan atau kesulitan, tetapi juga bukan untuk mencari kenyamanan semata. Tidak ada salahnya menjadi nyaman sesekali, juga jangan lupa untuk terus bertumbuh.

Mana yang Lebih Baik, Karyawan atau Pengusaha?

Banyak pertanyaan muncul mengenai apakah menjadi pengusaha lebih baik menjadi karyawan? Well, jawaban atas pertanyaan itu tidak bisa dijawab secara to the point. Banyak faktor lainnya yang menentukan apakah suatu pekerjaan lebih baik daripada pekerjaan lainnya. Dari sudut pandang Allah, Allah tidak melihat apa pekerjaan kita, apa profesi kita. Yang dilihat Allah adalah keimanan dan amal kita, jadi meskipun jadi karyawan, atau pengusaha, atau pemulung sekalipun, kalau ia beriman dan beramal soleh maka orang itu mulia, no matter what their profession.

Jadi berhenti menilai lebih baik atau tidaknya suatu profesi, semata dari profesi itu sendiri. Karena Allah saja melihat seseorang dari agamanya (iman dan amalnya), maka sudah seharusnya kita juga mencontoh Allah dengan menilai orang pertama kali dari agamanya. Kalau agamanya baik, maka baru kita bisa menilai profesinya, menilai dari kecerdasannya, melihat prestasinya dan lain-lain.

Seandainya ada dua orang yang memiliki agama yang baik, sama-sama rajin sholat, berbakit pada orang tua, rajin sedekah dan sebagainya. Orang pertama berprofesi sebagai karyawan, sedangkan yang kedua berprofesi sebagai pengusaha yang memiliki beberapa orang karyawan. Mana yang lebih baik? Dari sini kita baru bisa menilai, secara umum, bahwa orang yang menjadi pengusaha adalah lebih baik. Mengapa? Karena ia bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri, lebih lagi untuk kesejahteraan karyawannya, kesejahteraan keluarga karyawannya juga. Melalui dirinya, Allah membuka lapangan pekerjaan dan sumber nafkah bagi orang lain.

Meskipun penilaian mana yang lebih baik atau mana yang kurang baik itu selalu relatif, bergantung pada yang menilai dan yang dinilai, bergantung pula pada situasi dan kondisi, dan terlebih lagi bergantung pada hati yang tidak mungkin dinilai oleh orang lain. Secara umum, bagi saya pribadi, jika seseorang itu adalah orang yang soleh menjadi pengusaha adalah lebih baik. Karena dengan menjadi pengusaha, dengan jalan perniagaan, berarti kita telah mencari rezeki melalui 9 pintu, dibanding menjadi karyawan yang mencari rezeki hanya melalui 1 pintu. Dengan begitu peluang untuk mendapat rezeki yang lebih lapang, secara statistik, lebih terbuka lebar. Dengan rezeki yang lapang, dan berkah tentunya, kita bisa berbuat lebih banyak kebaikan. Bisa berzakat lebih besar, bisa bersedekah lebih banyak, bisa menyumbang untuk masjid dan pesantren, bisa memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan, bisa pergi haji dan umroh, bisa memberangkatkan haji dan umroh orang lain, bisa berkurban, dan banyak lagi ibadah yang memerlukan harta dalam pelaksanaannya.

Dengan menjadi pengusaha, kita menjadi perantara Allah dalam menyalurkan rezeki ke orang lain melalui lapangan pekerjaan yang kita buka untuk saudara kita, melalui gaji yang kita berikan kepada karyawan, dan melalui berbagai bentuk tunjangan kesejahteraan yang mungkin kita berikan kepada para karyawan. Dengan menjadi pengusaha pula waktu kita tidak terikat karena bekerja untuk orang lain, kita bisa bebas melakukan ibadah pagi berdzikir, mempelajari quran, shalat dhuha hingga jam 8, bisa shalat dhuha 12 rakaat tanpa khawatir ada yang menegur, bisa mengunjungi orang tua tanpa harus menunggu weekend.

Kesimpulannya, jika ditanya mana yang lebih baik antara karyawan dan pengusaha, saya akan menjawab yang lebih baik adalah yang paling beriman kepada Allah dan paling ikhlas dan banyak amal solehnya.  Jadi pengusaha kalau suka melalaikan shalat percuma juga, hina juga statusnya di mata Allah. Jadi karyawan kalau rajin ke masjid jauh lebih menentramkan. Karyawan dan pengusaha adalah sama-sama mulia di sisi Allah jika keduanya bertakwa. Namun ada potensi-potensi kebaikan yang lebih besar yang bisa dilakukan oleh seorang pengusaha dibanding seorang karyawan. Pun ujiannya lebih besar menjadi pengusaha dibanding menjadi karyawan.

So, it's up to you, mau menjadi karyawan atau menjadi pengusaha, let your heart decide.

Apa Rezeki Kamu Hari Ini?

Kemarin saya menemukan postingan menarik dan inspiratif di Kaskus. Postingan yang memaksa saya mengingat kembali makna rezeki yang sebenarnya. Sebuah tulisan yang menyentil kesadaran saya betapa Allah Maha Pemberi Rezeki yang rezekiNya tidak akan habis dibagi kepada manusia dan seluruh makhluknya sampai hari kiamat. Postingan yang berjudul 'REJEKI GAK AKAN KEMANA GAN' diposting oleh akun mosesrio99. Semoga pahala kebaikan dari orang yang tergerak hatinya atas tulisan ini mengalir kepada beliau. Berikut postingan lengkapnya :

REJEKI BANYAK BENTUKNYA
Kemarin hujan mulai jam 9 pagi, seorang tukang rujak numpang berteduh di teras ruko saya.
Masih penuh gerobaknya, buah-buah tertata rapi. Kulihat beliau membuka buku kecil, rupanya Al Quran. Beliau tekun dengan Al-Qurannya. Sampai jam 10 hujan blm berhenti.
Saya mulai risau karena sepi tak ada pembeli datang.
Saya keluar memberikan air minum.
“Kalau musim hujan jualannya repot juga ya, Pak… ” .. “Mana masih banyak banget.”
Beliau tersenyum, “Iya bu.. Mudah-mudahan ada rejekinya.. .” jawabnya.
“Aamiin,” kataku.
“Kalau gak abis gimana, Pak?”. tanyaku.
“Kalau gak abis ya risiko, Bu.., kayak semangka, melon yang udah kebuka ya kasih ke tetangga, mereka juga seneng daripada kebuang. kayak bengkoang, jambu, mangga yang masih bagus bisa disimpan. Mudah-mudahan aja dapet nilai sedekah,” katanya tersenyum.
“Kalau hujan terus sampai sore gimana, Pak?” tanyaku lagi.
“Alhamdulillah bu… Berarti rejeki saya hari ini diizinkan banyak berdoa. Kan kalau hujan waktu mustajab buat berdoa bu…” Katanya sambil tersenyum.
“Dikasih kesempatan berdoa juga rejeki, Bu…”
“kalau gak dapet uang gimana, Pak?” tanyaku lagi.
“Berarti rejeki saya bersabar, Bu… Allah yang ngatur rejeki, Bu… Saya bergantung sama Allah.. Apa aja bentuk rejeki yang Allah kasih ya saya syukuri aja. Tapi Alhamdulillah, saya jualan rujak belum pernah kelaparan.
“Pernah gak dapat uang sama sekali, tau tau tetangga ngirimin makanan. Kita hidup cari apa Bu, yang penting bisa makan biar ada tenaga buat ibadah dan usaha,” katanya lagi sambil memasukan Alqurannya ke kotak di gerobak.
“Mumpung hujannya rintik, Bu… Saya bisa jalan ..Makasih yaa ,Bu…”
Saya terpana… Betapa malunya saya, dipenuhi rasa gelisah ketika hujan datang, begitu khawatirnya rejeki materi tak didapat sampai mengabaikan nikmat yang ada di depan mata.
Saya jadi sadar bahwa rizki hidayah, dapat beribadah, dapat bersyukur dan bersabar adalah jauh…jauh lebih berharga daripada uang, harta dan jabatan

Suatu pelajaran dan hikmah yang Allah berikan melalui tukang rujak. Tukang rujak yang beriman dan bijaksana sungguh lebih berharga di mata Allah daripada orang-orang berduit yang menjalani hidup tanpa makna dan seringkali lupa akan aturan Allah.

Memang selama ini kita cenderung memaknai rezeki hanya berupa hal-hal yang sifatnya materil semata. Jika kita mendapat uang, mendapat barang-barang, mendapat makanan, baru kita merasa mendapat rezeki dari Allah. Padahal rezeki itu tidak hanya sesuatu yang sifatnya materil, justru rezeki yang tingkatannya tinggi itu lebih banyak bersifat non materil, tidak dapat dilihat.

Teringat ceramah dari seorang ustadz yang nama, tempat dan waktunya saya tidak ingat. Yang tersisa di memori hanyalah pelajaran yang diambil dari ceramah beliau. Yang walaupun saya lupa namanya, tapi saya yakin Allah tak pernah lupa dan mengirimkan aliran pahala yang tidak terputus atas hikmah yang pernah beliau sampaikan kepada saya dan jamaah lainnya.

 Dari ceramah tersebut saya mengetahui bahwa rezeki itu ada tiga tingkatan, yaitu :

1. Rezeki dengan tingkatan yang paling rendah. Yaitu rezeki berupa materi, uang, makanan, harta, jabatan, bahkan keluarga pun merupakan rezeki yang paling rendah tingakatannya. Sesuatu yang sayangnya selama ini kebanyakan dari kita berusaha mendapatkannya dengan (hampir) mati-matian.

2. Rezeki dengan tingkatan yang menengah. Yaitu rezeki berupa kesehatan, baik itu kesehatan badan maupun pikiran. Kesehatan jasmani maupun kesehatan rohani. Kesehatan ini tidak terlihat, non materil, dan bahkan jarang disadari. Tanpa rezeki berupa kesehatan ini, rezeki tingkatan dibawahnya tidak akan terasa. Orang yang terbaring di rumah sakit tidak akan merasakan nikmatnya makanan, nikmatnya uang, nikmatnya jabatan, bahkan nikmatnya punya istri cantik dan seksi.

Dua tingkatan rezeki ini, yang rendah dan menengah; harta, keluarga dan kesehatan diberikan kepada orang yang beriman maupun orang yang tidak beriman, diberikan kepada orang muslim maupun orang non muslim. Disinilah sifat Rohman Allah, sifat Pengasihnya Allah. Bahwa Allah memberi rezeki (tingkatan rendah dan menengah) kepada semua makhluknya tanpa melihat apakah ia beriman atau tidak, apakah ia muslim atau bukan, sesuai dengan sunatullah yang telah ditetapkanNya. Siapa yang berusaha sesuai sunatullahNya maka ia akan diberi rezeki tingkat rendah dan menengah ini, siapapun ia, meskipun perilakuknya seperti Firaun.

3. Rezeki dengan tingkatan tertinggi. Yaitu rezeki berupa iman, ilmu, dan amal soleh. Orang yang yakin bahwa rezeki itu datangnya hanya dari Allah adalah orang yang diberi rezeki yang sangat besar, lebih besar dari orang yang diberi rezeki Pajero Sport sekalipun. Orang yang diberi ilmu dan pemahaman bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang wajib, mana yang sunnah, itu adalah orang yang lebih beruntung daripada orang yang punya rumah mewah di Pondok Indah. Orang yang diberi hidayah untuk bisa shalat fardhu berjamaah, bisa shalat sunnah, bisa membaca quran, adalah orang yang lebih punya rezeki dibanding orang yang menjabat CEO di perusahaan besar.

Nikmat ini hanya diberikan Allah kepada hamba-hambanya yang beriman, hanya diberikan kepada hamba-hambanya yang disayang. Disinilah sifat Rahim Allah, sifat Maha Penyayangnya Allah. Tidak layak sama sekali orang yang telah diberi nikmat yang paling tinggi untuk iri kepada orang yang hanya diberi nikmat tingkat rendah dan menengah.

Jika bangun tidur tubuh dan pikiran kita masih sehat maka kita telah diberi rezeki. Jika di pagi hari kita masih menemukan makanan untuk sarapan dan pakaian untuk dipakai maka kita telah diberi rezeki oleh Allah. Jika kita diberi kesanggupan untuk shalat subuh berjamaah maka kita telah diberi rezeki. Jika setelah itu kita diberi hidayah untuk berdzikir, membaca quran, shalat dhuha, maka kita telah diberi rezeki yang banyak hanya dalam waktu pagi yang singkat.

Orang yang berakal manakala ia telah diberi uang satu milyar, maka ia tidak akan memusingkan apakah ia akan diberikan uang seratus ribu atau tidak. Orang yang beriman dan beramal soleh tidak akan
khawatir apakah ia akan diberi banyak harta atau tidak. Karena baginya, iman yang ada di dalam hati dan amal soleh yang ia kerjakan jauh lebih berharga daripada harta sepenuh dunia.

Dan jika besok kita ditanya oleh seseorang 'Kamu sudah dapat rezeki apa saja hari ini?' Semoga kita bisa menjawab 'Alhamdulillah, sudah diberi rezeki bisa bangun malam shalat tahajud, sudah diberi rezeki bisa berangkat ke masjid shalat qabliyah subuh dan shalat subuh berjamaah, sudah diberi rezeki bisa berdzikir di pagi hari, sudah diberi rezeki membaca quran ...'.

Dan jika besok kita gagal mendapat order, kehilangan harta benda atau jabatan, atau usaha sepi. Tetap ucapkanlah 'Alhamdulillah saya masih hidup, masih diizinkan untuk beribadah kepada Allah, masih diizinkan untuk bertobat dan meminta ampun atas dosa-dosa saya, masih diizinkan untuk shalat, dzikir, membaca quran, menuntut ilmu'

Terakhir saya ingin mengutip kembali perkataan tukang rujak yang bijaksana, semoga bisa mengingatkan kita.

Kita hidup cari apa, yang penting bisa makan biar ada tenaga buat ibadah dan usaha

Semoga kita semua diberi hidayah dan hikmah dari Nya, Allah Sang Maha Pemberi Rezeki. Aamiin.