Minggu, 12 Juli 2015

sekolah DAKWAH

Ujiannya setiap hari
Gurunya adalah para nabi, sahabat dan ulama
Kepala sekolahnya adalah Allah SWT
Buku panduannya adalah Alquran dan hadist
Masa belajarnya adalah seumur hidup
Poin penilaiannya adalah iman dan amal saleh
Pengawasnya adalah Rokib Atid
Hadiah kelulusannya adalah surga dan ridho Allah
Wisudanya adalah kematian
Ruang kelasnya adalah seisi bumi
Teman sekelasnya adalah seluruh umat manusia

Sabtu, 11 Juli 2015

fresh air of SAWAH LUHUR

Orang-orang kota rela menghabiskan jutaaan rupiah hanya untuk menghirup udara segar, merasakan hawa yang sejuk dan melihat hijaunya hampran padi di wilayah persawahan seperti di wilayah Ubud, Bali. Bagi orang-orang yang tinggal dan beraktivitas di perkotaan, pemandangan dan udara persawahan terutama di pagi hari sangat-sangat memukau dan berharga. Yang dihadapi orang-orang itu setiap harinya adalah bisingnya deru mesin kendaraan, penatnya mobil dan motor yang berhimpit-himpitan di tengah kemacetan, dan udara kotor serta beracun hasil buangan ribuan knalpot. Karenanya ketika dihadapkan dengan suara merdu dari gesekan-gesekan tanaman padi yang dihembus angin, hijau dan kuningnya tanaman padi yang tersusun rapih di petak-petak sawah, dan oksigen yang berlimpah hasil produksi begitu banyak tumbuhan hijau di pagi hari. Itu semua, begitu bernilai harganya di mata orang-orang kota. Sesuatu yang langka, dan karenanya berharga.

Saya beruntung setiap hari dapat memandangi areal persawahan yang luas dan indah, menghirup limpahan oksigen segar pagi hari hasil produksi jutaan tanaman padi, dan mendengar tenangnya dunia setiap pergi kerja. Sesuatu yang indah dan langka bagi banyak orang. Sesuatu yang sayangnya baru saya sadari akhir-akhir ini. Karena terlalu terfokus pada tujuan, yaitu tempat kerja. Pikiran yang sibuk mengantisipasi masalah yang timbul dikantor menghalangi momen-momen ajaib melewati areal persawahan yang luar biasa. Areal persawahan tersebut bernama sawah luhur, salah satu daerah penghasil padi terbesar di Banten yang berlokasi di Kabupaten Serang, Banten.

Jumat, 10 Juli 2015

S1 jurusan SABAR

Apa yang benar-benar kita perlukan dalam hidup, jarang diajarkan di sekolah. Saya tidak mengerti mengapa kurikulum sekolah lebih banyak mengajarkan hal-hal yang teoritis. Bukan hal-hal yang sifatnya praktis seperti manajemen emosi, manajemen pikiran, manajemen waktu dan hal-hal yang kemungkinan besar dapat digunakan oleh setiap orang di hampir setiap keadaan. Berapa banyak dari kita yang menggunakan rumus trigonometri setelah lulus sekolah atau lulus kuliah? Jika kita tidak bekerja di bidang engineering atau bekerja sebagai ilmuwan mungkin hal terakhir yang kita lakukan dengan ilmu trigonometri adalah mengajarkannya ke anak kita yang masih sekolah! Yang anak kita gunakan kelak untuk mengajari anaknya lagi dan seterusnya.

Lalu bagaimana dengan ilmu-ilmu yang justru penting dalam hidup, seperti bagaimana menjaga kesabaran dalam setiap situasi? Atau belajar tentang kebahagiaan? Belajar untuk senantiasa bersyukur? Ilmu yang sejak dipelajari hingga nanti di akhir hayat diperlukan oleh hampir semua manusia. Mengapa tingkah laku, attitude jarang sekali dijadikan kuriklum resmi di sekolah atau di kampus. Saya bermimpi kelak ada sekolah atau kampus yang membuka jurusan kebahagiaan. Mata kuliahnya adalah kebahagiaan 101, kesabaran dasar, ilmu syukur dan semacamnya. Jadi entah sepuluh atau dua puluh tahun lagi, saya bermimpi ada sarjana dengan gelar sarjana kesabaran. Yang melahirkan orang-orang yang benar-benar patut menjadi suri teladan bagi masyarakat tentang kesabaran.

Tapi bagaimana dengan pekerjaannya nanti? Mungkin itu yang akan ditanyakan banyak orang tentang sarjana S1 jurusan kesabaran. Pekerjaan apa yang akan dikerjakan oleh lulusan S1 kesabaran? Saya jawab, pekerjaannya adalah menjadi teladan bagi masyarakat banyak. Karena saat ini kita sudah cukup banyak memiliki dokter, enjinir, manajer, bankir, dll. Namun teladan? Masih segelintir orang yang pekerjaannya adalah menjadi teladan. Lalu siapa yang gaji kalau begitu? Saya jawab, Allah langsung yang akan menggajinya.

Kamis, 09 Juli 2015

ibadah SEADANYA

Pernahkah terlintas dalam pikiran kita. Ketika akan berangkat kerja, kebetulan di hari itu ada meeting penting dengan bos besar atau klien penting.  Pagi itu kita mandi lebih lama dari biasanya, memilih kemeja dan celana terbaik, tidak lupa deodoran dan parfum, rambut diberi pomade dan disisir rapih, sepatu dipastikan semengkilat mungkin, ditambah pengharum nafas. Memastikan penampilan kita adalah penampilan terbaik. Sadarkah kita bahwa apa yang kita lakukan tersebut, semata-mata karena untuk berhadapan dengan sesama manusia. Yang pada hakikatnya tidak mampu memberi manfaat dan mudharat tanpa izin Allah. Demi berhadapan dengan manusia kita rela mengalokasikan setengah jam lebih untuk benar-benar memperhatikan penampilan.

Lalu bagaimana ketika kita akan menghadap Allah, untuk meeting denganNya. Sholat adalah pertemuan Allah dengan hambaNya. Sholat adalah meeting antara kita dan bos besar seluruh alam semesta. Penampilan fisik apa yang biasanya kita siapkan untuk meeting maha penting tersebut. Kalau sholat subuh biasanya bangun tidur, wudhu, pakai sarung, gelar sajadah, langsung sholat. Tidak peduli bahwa pakaian yang kita pakai adalah pakaian yang sudah kusut sehabis dipakai tidur semalaman, tidak peduli bau badan kita setelah semalaman tidur, tidak peduli rambut yang masih acak-acakan, nafas yang bau belum sikat gigi, ditambah sarung kumal yang sudah berapa hari tidak diganti.

Betapa berbeda 360 derajat penampilan kita ketika akan bertemu manusia dan bertemu Allah, Sang Raja Manusia.

Rabu, 08 Juli 2015

peperangan INTERNAL

Telah menjadi kebenaran universal bahwa pertempuran paling besar adalah pertempuran melawan diri sendiri. Peperangan antar suku, antar kubu dan antar negara berawal dari orang-orang yang tak mampu mengalahkan dirinya sendiri. Orang-orang yang kalah oleh nafsu dan ambisinya. Peperangan yang membuat banyak orang terbunuh bermula dari orang-orang yang tak bisa memenangi pertempuran antara bisikan malaikat dan bisikan iblis dalam dirinya. Begitupun banyak impian manusia yang tak kunjung terwujud adalah bukan karena kondisi external. Berapa banyak kita pernah melihat atau membaca berita mengenai penyandang cacat yang mampu berprestasi, memainkan simfoni musik yang indah, melukis karya lukisan yang indah atau menulis buku yang menginspirasi. Sekali lagi, bukan kondisi external seperti cacat tubuh, keterbatasan materi atau lingkungan yang menghalangi kita mencapai impian. Namun apakah kita mampu untuk memenangi peperangan dalam diri yang menentukan apakah kita mampu mencapai impian?

Selasa, 07 Juli 2015

yang penting SELAMAT

Pernahkah kita membaca berita tentang seorang ayah yang berangkat kerja namun tidak pernah sampai di kantor. Atau seorang ibu yang pulang dari kantor namun tak pernah sampai ke rumah. Orang tadi mengalami kecelakaan di perjalanan ketika menuju rumah atau kantor. Kecelakaan fatal yang merenggut nyawa. Orang yang ditunggu-tunggu ternyata tak kunjung datang. Meninggalkan kesedihan mendalam di benak keluarga dan rekan kerja. Pernahkah kita merenung bahwa bisa jadi orang tersebut adalah kita. Pernahkah kita merasa beruntung sampai di rumah atau di kantor dengan selamat?

Seringkali kita mengeluh dengan pelayanan transportasi umum yang buruk, mengeluh mengenai kemacetan di jalan-jalan, mengeluhkan lamanya perjalanan pergi pulang kerja. Coba sesekali kita merenung, berpikir dan bersyukur bahwa tiba di rumah atau di kantor dengan selamat saja sudah menjadi berkah tersendiri. Meskipun harus menempuh perjalanan 2 jam, walaupun harus menembus belantara kemacetan, itu semua hampir tidak ada artinya dengan keselamatan jiwa kita yang bisa saja terenggut di tengah perjalanan.

Dari ribuan perjalanan yang pernah kita tempuh menuju kantor atau rumah, berapa kali kita mengalami kecelakaan? Dan kalau Anda masih bisa membaca tulisan ini berarti anda masih hidup. Bahwa rasio celaka di perjalanan yang Anda tempuh kurang dari 0.01% dan rasio meninggal karena kecelakaan di perjalanan adalah 0%  adalah hal yang sangat patut disyukuri. Kita lebih banyak diselamatkan oleh Allah daripada diberi cobaan berupa kecelakaan.

Mari mulai sekarang kita bersyukur ketika tiba di kantor, ketika sampai di rumah. Bersyukur karena kita telah sampai tempat tujuan dengan selamat. Apa-apa yang terjadi selama di perjalanan adalah kurang penting dan karenanya tidak pantas untuk dikeluhkan. Kita pastinya lebih memilih bermacet-macet ria atau melewati jalan jelek daripada harus dikafankan kan? Jadi syukuri saja fakta bahwa kita masih selamat.

Senin, 06 Juli 2015

lebih KASIHAN kepada siapa

Seringkali kita mengkasihani orang lain. Ketika melewati pengemis anak-anak di trotoar, ketika bertemu mereka yang sudah tua renta masih meminta-minta di tengah kemacetan, ketika melihat orang-orang tua ditelantarkan anaknya di panti jompo, ketika mendapati anak balita yang sudah tidak punya ayah ibu lagi, ketika mendengar anak-anak SD harus bekerja dan putus sekolah karena tak ada biaya. Ketika semua berita itu sampai melalui indra kita, kita merasa kasihan. Ada perasaan terenyuh, sedih, ingin menolong. Orang bilang, ini perasaan empati. Rasa empati ini menandakan kita adalah satu sebagai umat manusia. Kita dan mereka yang setiap harinya mengemis di jembatan penyebrangan hakikatnya adalah sama. Sama-sama manusia. Mereka yang masih memiliki rasa kemanusiaan pasti merasakan empati, merasakan kasihan, tatkala mendapati manusia lain yang jauh kurang beruntung dibanding dirinya. Mereka yang hatinya tak tersentuh, mereka yang tak merasa kasihan atau minimal terenyuh. Mungkin perlu dipertanyakan lagi rasa kemanusiaannya. Kita merasa kasihan karena kita merasa sama-sama manusia. Rasa kasihan yang kita punya menandakan kalau kita masih manusia.

Rasa kasihan yang sebelumnya saya ungkapkan adalah rasa kasihan karena kekurangan hal-hal yang sifatnya fisik. Kekurangan uang, kekurangan makanan, kekurangan tempat tinggal, kekurangan perhatian. Namun ada jenis rasa kasihan lain yang seringkali terlupakan. Adakah dari kita yang pernah merasa kasihan kepada mereka yang kekurangan dalam hal spiritual, dalam hal hubungannya dengan Allah. Pernahkah kita merasa kasihan kepada seorang direktur yang sering melalaikan shalat? Pernahkah kita merasa kasihan kepada orang kaya yang belum juga mengunjungi tanah suci Mekkah? Pernahkah kita merasa kasihan kepada pejabat yang jarang berkunjung ke masjid? Mungkin masih sedikit orang yang mengkasihani golongan orang yang seperti itu. Golongan orang yang jauh dari Allah, golongan orang yang lalai dalam ibadah, golongan orang yang lemah imanya.

Rasa kasihan memberi kita dorongan untuk bertindak membantu mereka lepas dari kondisi keprihatinannya, kondisi yang membuat kita merasa kasihan. Jika kita kasihan terhadap orang yang lapar, kita terdorong untuk memberinya makanan. Jika kita kasihan terhadap orang yang jarang ke masjid, tindakan apa yang lantas kita lakukan? Jika kita kasihan terhadap orang yang melalaikan shalat, lalu apa yang kita perbuat? Jika tidak ada tindakan nyata yang kita perbuat, maka jangan-jangan kita ini belum kasihan kepada golongan orang-orang yang kekurangan secara spiritual. Atau malah kita ini justru termasuk orang-orang yang patut dikasihani secara spiritual.

Padahal kekurangan dalam hal duniawi adalah kekurangan yang sifatnya sementara dan dapat dimaklumi Allah. Jika seorang manusia sakit-sakitan, kelaparan, miskin, hidup terlunta-lunta, sendirian, ditinggalkan, Allah masih tidak marah. Allah masih sayang selama orang tersebut masih taat. Namun jika kekurangannya dalam hal keimanan dan ibadah, maka kekurangan itu akan menjadi masalah besar bukan hanya di dunia namun terlebih lagi di akhirat. Orang yang kekurangan dalam hal iman dan ibadah, di dunia akan merasakan kegelisahan, di akhirat akan merasakan penderitaan yang abadi. Jika seseorang lalai terhadap shalatnya, jarang ke masjid, berakhlak buruk, mengambil yang bukan haknya, menyakiti orang lain, maka Allah akan marah. Tidakkah kita lebih kasihan kepada orang tersebut dibanding orang yang hanya kekurangan masalah dunia.


Sekarang ini, jika kita boleh memilih. Apakah kita lebih kasihan terhadap pengemis yang duduk di trotoar, tiap hari terpapar sinar matahari yang tajam, ketika malam tidur hanya beralaskan tikar dan beratapkan langit, namun ketika adzan berkumandang ia beranjak ke masjid? Ataukah kita lebih kasihan kepada eksekutif muda yang tampan dan mapan, tinggal di apartemen elite, mengendarai mobil keluaran terbaru, namun ketika waktu shalat hampir habis ia tak kunjung beranjak dari kursi kantornya yang empuk? Atau justru kita malah kasihan terhadap diri sendiri karena tak punya keduanya?

Minggu, 05 Juli 2015

PINDAH kerja itu seperti pindah masjid

Jika bekerja itu adalah ibadah, dan bisa dianalogikan seperti sholat. Maka pindah kerja itu tidak lain seperti halnya pindah masjid. Ketika kita pindah masjid, sholat yang kita lakukan tetap sama. Mulai dari niatnya, takbiratul ikhramnya, berdirinya, rukuknya, sujudnya sampai dengan salamnya. Begitupun ketika kita pindah kerja, yang kita lakukan pun harusnya tetap sama. Bekerja dengan niat yang lurus, amanah, bekerja sepenuh hati, menguasai kompetensi yang dibutuhkan, terencana, terkendali dan seterusnya.

Jawaban dari pertanyaan mengapa kita pindah kerja hampir sama jawabannya dengan jawaban dari pertanyaan mengapa kita pindah masjid. Kita pindah masjid mungkin karena rumah kita pindah atau di masjid yang baru kita lebih mendapat kenyamanan beribadah dibanding masjid yang lama. Masjid yang baru mungkin gerakan shalatnya lebih tuma'ninah, bacaan imamnya lebih fasih, shaf shalatnya lebih rapat, jamaahnya lebih banyak, fasilitas di masjidnya lebih lengkap dan sebagainya. Begitu pun ketika kita pindah kerja. Di tempat yang baru yang kita cari adalah antara lain manajemennya yang lebih rapih dan profesional, visi dan tujuan perusahaan yang lebih jelas, teamwork yang lebih solid, skala perusahaan yang lebih besar dan penghasilan serta fasilitas yang lebih dibanding pekerjaan sebelumnya.


Tidak salah orang yang pindah masjid, yang salah adalah orang yang tidak pernah ke masjid. Tidak ada yang salah dari pindah kerja. Yang salah adalah orang yang punya kemampuan dan kesempatan untuk bekerja tapi tidak bekerja. Jika bekerja itu adalah ibadah, maka kantor adalah tempat ibadah. Mari kita mencari tempat ibadah dimana kita bisa beribadah lebih khusyu. 

Sabtu, 04 Juli 2015

khutbah mengenai KEJUJURAN

Jumat, 3 Juli 2015. Tidak biasanya saya menyimak khutbah Jumat. Biasanya belum lima menit khotib memberikan khutbah, saya sudah terseret kantuk. Kantuk yang sekonyong-konyong hilang ketika bilal mengumandangkan iqomat. Saya punya keyakinan bahwa apapun yang terjadi pada kita. Apa yang kita dengar, apa yang kita baca, orang yang kita temui, kantor tempat kita bekerja dan semua yang menjadi bagian dari hidup kita. Adalah bukan suatu kebetulan. Itu semua memang sudah ditakdirkan seperti itu. Ada hikmah dan pelajaran yang bisa dan perlu diambil dari setiap moment. Termasuk tema khutbah kali ini pun bukan suatu kebetulan.

Khutbah Jumat ini, dimana saya gagal untuk terbawa kantuk. Bertemakan kejujuran. Meskipun khutbah itu disampaikan untuk umum. Ada pesan pribadi yang memang ditujukan untuk saya, baik secara gamblang atau tersirat. Pelajaran dari Allah kepada saya melalui sang khatib. Apa makna kejujuran? Apakah jujur berarti tidak berkata bohong? Belum tetntu. Contoh: Jika seorang pedagang ditanya oleh pembeli. Apakah barang dagangan Anda ada cacatnya? Pedagang menjawab tidak, karena memang barang dagangan tersebut tidak cacat. Ia telah berkata benar, tidak bohong. Namun jika disaat yang sama pedagang tersebut menyembunyikan informasi dari pembeli. Yang kemungkinan jika informasi tersebut disampaikan ke pembeli akan menjadi pertimbangan pembeli apakah jadi membeli barang tersebut atau tidak. Seperti barang tersebut meskipun tidak cacat namun ada barang lain yang lebih bagus kualitasnya dengan harga yang tidak terlalu berbeda yang tidak ditawarkan ke pembeli semata-mata karena ingin menghabiskan stok barang yang pertama. Dalam kasus ini si pedagang tidak bohong, namun juga tidak jujur.

Jadi menurut saya, kejujuran itu adalah full disclosure. Keterbukaan penuh. Persis seperti yang dicontohkan Rasulullah. Yaitu ketika beliau menjual barang dagangannya beliau berkata: Sekian harga dari majikan saya, sekian biaya operasional saya dan terserah pembeli mau memberi saya keuntungan berapa. Jadi disitu tidak ada yang ditutup-tutupi, termasuk margin yang didapatkan oleh pedagang. Semua informasi yang berpotensi memengaruhi keputusan pembelian diungkapkan sepenuhnya. Tidak hanya informasi yang menunjukkan keunggulan produknya, tapi juga informasi tentang kelemahan produknya. Jadi dalam hal ini, apakah strategi-strategi pemasaran merupakan bentuk ketidakjujuran? Bisa iya dan bisa tidak. Hal tersebut memerlukan pembahasan lebih dalam lagi tentunya.

Begitu juga dalam pernikahan. Kejujuran adalah full disclosure. Seorang suami yang memiliki kedekatan dengan wanita selain istrinya mungkin tidak pernah berbohong bahwa ia memiliki teman wanita, karena ia kebetulan tidak pernah ditanya. Namun apakah suami tersebut telah berperilaku jujur? Kita sepakat untuk memberikan jawaban tidak. Kejujuran adalah ketika kita siap memberikan jawaban jujur untuk semua pertanyaan yang mungkin timbul. Baik pertanyaan itu ditanyakan atau tidak. 

Jumat, 03 Juli 2015

BEKERJA itu ibadah

Kerja itu ibadah ...
Jika diniatkan untuk mencari ridha Allah
Jika diniatkan menjemput rezeki untuk menafkahi keluarga
Jika diniatkan agar punya penghasilan yang darinya kita bisa berzakat dan bersedekah
Jika diniatkan untuk memberikan nilai tambah bagi perusahjaaan dan masyarakat

Kerja itu ibadah ...
Jika kehadiran kita di tempat kerja dapat menjadi teladan bagi orang lain
Jika kehadiran kita di tempat kerja memberikan manfaat bagi orang banyak
Jika kehadiran kita di tempat kerja dianggap sebagai aset bagi perusahaan
Jika kehadiran kita di tempat kerja membuat suasana menjadi lebih baik

Kerja itu ibadah...
Jika dilaksanakan dengan amanah
Jika dilaksanakan dengan ilmu yang benar
Jika dilaksanakan sepenuh hati, pikiran dan tenaga
Jika dilaksanakan dengan penuh rasa syukur

Kerja itu tidak lagi menjadi sebuah ibadah ...
Jika diniatkan untuk sekedar mencari harta, posisi atau gengsi
Jika kehadiran kita di tempat kerja tidak diharapkan
Jika dilaksanakan dengan keluh kesah dan ketidakjujuran

Jika kita tidak menyadari bahwa pekerjaan adalah rezeki sekaligus ujian

Kamis, 02 Juli 2015

hidup untuk BERKARYA

Hidup memang Cuma sekali, namun jika kita bisa menjalaninya dengan benar. Sekali saja cukup. Salah satu indikator kita menjalani hidup dengan benar adalah dengan adanya hasil karya. Berkarya itu seperti seorang pelukis yang menghasilkan lukisan. Ada hasil atau output dari kerja kita. Hasil yang tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri namun juga untuk orang lain. Begitu banyak bentuk karya yang bisa dibuat oleh berbagai macam orang dari berbagai jenis profesi. Dokter berkarya dengan membantu orang agar menjalani hidup yang sehat, pengusaha berkarya dengan memberikan nilai tambah dan membuka lapangan pekerjaan, petugas pemerintahan berkarya dengan memberikan pelayanan kepada masyarakat, kepala daerah berkarya dengan memakmurkan daerah yang dipimpinnya, dan ada kemungkinan tak terbatas lainnya dalam berkarya. Bahkan buruh pun berkarya dengan menghasilkan produk sesuai target dan kualitas. Bagi penulis, jelas karyanya tidak lain adalah sebuah tulisan yang bermanfaat, memberi informasi, menggugah, menginspirasi, atau menghibur.

Ada cerita mengenai seorang cleaning service terowongan yang dilalui oleh kereta bawah tanah. Yang telah bekerja di pekerjaan tersebut selama puluhan tahun. Dan ia menyukai pekerjaan tersebut. Menurut Anda karya apa yang ia hasilkan dari pekerjaan membersihkan sampah dan membunuh tikus di terowongan bawah tanah yang gelap dan pengap? Orang itu berkarya dengan memberikan tempat tinggal yang lebih bersih bagi mereka yang tidak punya tempat tinggal. Tempat tinggal bagi mereka yang sangat-sangat miskinnya sehingga harus tinggal di terowongan bawah tanah.


Mari kita merenung. Apakah selama ini kita menjalankan profesi kita hanya karena mencari rupiah atau terbelenggu rutintas tanpa makna. Atau kita telah memutuskan untuk membuat suatu karya. Lebih lagi, bukan hanya karya tapi mahakarya.

Rabu, 01 Juli 2015

seakan di SURGA

Di masa kecil...
Ketika kita bermain dengan teman-teman
Ketika ayah membelikan mainan yang kita idam-idamkan
Ketika ibu meninabobokan kita sambil memberikan pelukan hangatnya

Di masa sekolah...
Ketika kita mampu ranking 1
Ketika pulang cepat karena ada rapat guru
Ketika kita satu-satunya yang mendapat nilai ujian 10 di kelas

Di masa kuliah...
Ketika wanita yang kita sukai ternyata menyukai kita juga
Ketika orang tua memberikan kiriman uang lebih dari biasanya
Ketika prosesi wisuda dan menyaksikan orang tua menangis bahagia

Di masa dewasa...
Ketika dapat bekerja sepenuh hati
Ketika selesai akad nikah dengan wanita yang kita cintai
Ketika menyaksikan kelahiran sang buah hati dengan kondisi sehat

Di sepanjang usia kita...
Ketika menitikkan air mata di rakaat shalat tahajud
Ketika menulis dan membaca di perpustakaan yang tenang
Ketika duduk di pinggir pantai memandangi matahari terbenam

Di sepanjang perjalanan kehidupan
Di antara waktu kelahiran dan kematian
Sang pencipta alam telah sangat bermurah hati
Menyisipkan waktu-waktu di bumi yang membuat kita seakan di surga