Kamis, 28 Desember 2017

PELAKSANA itu ibarat ban

Memang, bintang di langit yang memberikan tuntunan arah, namun jangan lupa bahwa kaki di bumi yang akan menggerakkan langkah
Memang, mesin yang membuat kendaraan melaju, namun jangan lupa ban lah yang mencengkeram tanah
Memang, para eksekutif yang merumuskan rencana, namun jangan lupa para pekerja dan pelaksana lah yang membuatnya menjadi nyata

Di dunia perusahaan, jika bisa dikelompokkan menjadi dua kasta. Maka ada dua kasta di perusahan. Mereka yang tell people what to do, para atasan - Direktur, manajer, supervisor. Dan mereka yang do what those people tell - yaitu para bawahan, pekerja, dan pelaksana. Pengalaman saya di dunia kerja, sebagai seorang manajer, jangan pernah meremehkan para pelaksana. Mereka ibarat ban, memang harganya tidak seberapa dibanding mesin mobil. Tapi kita semua tahu betapa sengsaranya jika ada salah satu ban yang bocor di tengah perjalanan.

Jika mesin mobil mati, maka mobil itu akan berhenti tidak lama lagi, namun jika salah satu ban bocor mobil masih bisa melaju, tentu dengan resiko kerusakan mobil. Logika yang dapat dipahami semua orang, setiap ada ban bocor atau kempes, walaupun mobil masih bisa dipaksakan melaju, tapi kebanyakan orang akan menghentikan mobilnya dan menangani ban yang bocor atau kempes tersebut. Entah dengan dipompa, menambalnya atau mengganti dengan ban serep. Simple logic.


Namun logika tersebut sepertinya gagal di analogikan dalam dunia korporat. Para pelaksana, mereka laksana ban. Ketika para pelaksana ini 'bocor' atau 'kempes' para eksekutif, manajer, cenderung membiarkan. Entah logika apa yang dipakai, mungkin mereka yang berpikir seperti ini beranggapan bahwa perusahaannya adalah kendaraan yang memiliki puluhan ban, jadi bocor atau kempes satu tidak masalah. Para pelaksana yang 'kempes' atau 'bocor' ini, penanganannya sama seperti ban. Pertama, di pompa, diberi motivasi, diberi arahan dan nasehat, didengarkan masalahnya. Jika tidak bisa, maka perlu ditambal, di rotasi posisinya, dikurangi atau ditambah load kerjanya, diberi kesempatan cuti, atau bahkan diberi surat peringatan. Jika dua cara tadi tidak ampuh, maka cara terakhir adalah dengan menggantinya dengan ban serep atau ban baru, ban yang sudah tidak bisa ditambal tidak bisa dipaksa untuk berjalan, itu akan tambah merusak ban  dan terlebih merusak kendaraan. Begitupun pelaksana yang sudah tidak bisa di bina lagi, tidak bisa dipaksa berjalan bersama perusahaan. Itu akan merugikan si orang tersebut sekaligus merugikan perusahaan.

Rabu, 27 Desember 2017

in the end, it's all because ALLAH

Pernahkah kita merasa seolah tidak kompeten? Merasa tidak punya kontribusi di perusahaan, atau merasa tidak bisa berupaya lebih jauh lagi untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Jika iya, maka itu adalah suatu berkah tersembunyi. Mengapa bisa disebut berkah? Karena ketika Kita merasa kompeten, kita cenderung merasa pekerjaan bisa selesai dikarenakan kompetensi kita, perusahaan bisa maju karena skill dan kontribusi Kita. Padahal tidak sama sekali. Pada hakikatnya kemampuan dan upaya Kita menyumbang nol persen dari selesainya pekerjaan ataupun majunya perusahaan. 100% yang memungkinkan itu terjadi adalah karena izin Allah. Tanpa izinNya, kompetensi Kita bernilai nihil, tanpa izin dariNya upaya kita tidak ada apa-apa nya. La hawla wala quwwata illa billah. Tidak ada daya dan upaya kecuali berasal dariNya.

Ketika kita merasa seolah tidak kompeten, ketika kita merasa seolah tidak punya kontribusi, ketika kita merasa seolah tidak bisa berupaya lebih jauh lagi menghadapi suatu masalah. Maka kita cenderung mencari Allah, Sang Penyelesai Segala Masalah, Sang Peringan Segala Beban. Dan tatkala masalah tersebut selesai atau menjadi semakin ringan, kita akan ingat bahwa yang menyelesaikan dan meringkankan bukanlah kita. Meskipun secara kasat mata yang terlihat bahwa masalah tersebut selesai melalui kemampuan dan kerja keras kita. Namun itu semua mampu kita abaikan, bahwa kemampuan dan kerja keras kita pun berasal dari Allah.

Manusia tidak punya apa-apa, manusia tidak bisa apa-apa. Manusia punya ini dan itu semata-mata karena diberikan olehNya. Manusia bisa ini dan itu semata-mata karena diberi kekuatan olehNya. Dan ketika kita mampu menyadari hal itu, di akhir hari ketika semua pekerjaan terselesaikan, di akhir tahun ketika target perusahaan terlampaui. Kita bisa berkata, ini semua bukan karena diri saya, ini semua karena Allah.

Kamis, 21 Desember 2017

Kami TanpaMu Tak Bisa Apa-apa

Kita adalah generasi yang lahir di tahun 80 dan 90an adalah generasi yang istimewa. Generasi yang saat ini diserang berbagai rupa fitnah dunia berupa wanita, harta dan tahta.
Di tengah budaya konsumerisme yang begitu meluas, sosial media yang tak terbendung, serta proporsi jumlah wanita yang berkali-kali lipat dari pria, mendapatkan wanita seperti mudah saja.
Di tengah pertumbuhan ekonomi, mudahnya fasilitas kredit, serta godaan komersial yang begitu gencar, memiliki harta benda rasanya gampang saja.
Di tengah fitnah dunia yang yang bersolek di depan mata, kita adalah generasi yang hidup di tengah-tengah itu semua.

Tak heran kita adalah generasi yang kaya harta, tapi miskin iman
Kita adalah generasi yang ingat berbagai fakta dan berita, tapi lupa akan ayat dan hadist
Kita adalah generasi yang rawan godaan dan rentan cobaan

Namun jangan lupa, kita adalah satu generasi menjelang generasi akhir zaman
Kita adalah generasi yang akan membesarkan anak cucu yang kelak akan menyaksikan kebangkitan Imam Mahdi dan munculnya Dajjal
Kita adalah generasi yang diberi amanah berat untuk membesarkan satu generasi yang kelak menghadapi fintah besar

Itulah tantangan kami, generasi ini, membesarkan generasi yang tahan terhadap fitnah besar di tengah fitnah-fitnah yang sekarang menyeruak
TV, internet, smartphone, youtube, facebook, bahkan whatsapp sangat bisa menjadi potensi fitnah
Wanita membuka auratnya dimana-mana, dari billboard di jalan raya hingga layar smartphone
Alangkahnya menantangnya menjadi generasi ini

Menjaga diri dari fitnah yang saat ini terjadi pun butuh perjuangan yang sangat keras
Butuh kemauan dan tekad baja, butuh doa yang tak putus-putus agar diri ini dijagaNya
Belum lagi mempersiapkan generasi baru itu, yang saat ini mereka masih bayi, balita, TK dan SD
Generasi yang belum sadar akan fitnah besar yang akan mereka hadapi

Fitnah yang tak dapat dijawab dengan harta kekayaan maupun akal kecerdasan
Fitnah yang tak mampu dilawan dengan senjata dan informasi
Fitnah yang hanya sanggup ditangkal dengan bekal ilmu dan ketakwaan

Ya Allah, bagaimana bisa kita mempersiapkan mereka menghadapi fitnah yang begitu besar, sementara diri kita tak sanggup menghadapi fitnah tingkat menengah
Ya Allah, jika bukan karena hidayah dan penjagaan dari Mu, takkan sanggup generasi ini menjaga diri dari fitnah
Ya Allah, jika bukan karena pertolongan dan tuntutan dari Mu, takkan sanggup kami menyiapkan generasi berikutnya

Ya Allah, tolonglah kami, kami tanpaMu tidak bisa apa-apa

COCO, antara kegembiaraan dan keharuan

Rabu, 20 Desember 2017. Aku mengajak putra pertamaku yang baru duduk di kelas 3 SD nonton bioskop film di bioskop. Sebagai hadiah setelah mengambil raport. Kebetulan film animasi yang sedang tayang di XXI adalah Film COCO. Sebetulnya film ini sudah beberapa minggu tayang, hanya saja aku agak enggan menonton film tersebut. Hanya karena banyak karakter tengkorak di film itu, sesuatu yang sepertinya kurang pas ditonton oleh anak-anak, cenderung membuat mereka jadi penakut. Namun setelah mendengar referensi seorang teman yang sudah menontonnya. Aku jadi penasaran dengan filmnya. Dan jadilah siang itu, pukul 14.25 saya mengajak si junior nonton film.

[spoiler alert]

Let start with the end
Kesannya setelah selesai menonton film Coco, kaki ini tidak ingin langsung beranjak dari kursi penonton. Aku tediam sebentar merenungi makna keluarga. Keluarga yang selama ini ku anggap take it for granted, biasa saja. Ternyata film ini sanggup menyadarkan kembali atas makna keluarga. Begini seharusnya para sineas dan rumah produksi membuat film, tidak sekedar menghibur tapi memiliki makna dan pesan moral. Bahkan sempat di pertengahan film, air mata ini hampir saja tak terbendung, jika saja tidak gengsi menangis di depan anak. Renunganku tak bertahan lama, melihat anak 8 tahun ku menari random mengikuti musik latar yang memang memanjakan telinga.

Kesimpulannya, film ini sangat layak ditonton. Bukan hanya untuk anak-anak, terutama untuk orang dewasa, dan terutama lagi untuk para papa. Lebih bagus lagi jika menonton bersama seluruh anggota keluarga, dijamin setelah film ini selesai rasanya ingin merangkul semua anggota keluarga. Film yang menghibur sekaligus mengharukan, film yang membuat tertawa sekalgus memancing air mata. Kita seolah dibawa dalam roller coaster emosi.

By the way, who is Coco
Coco adalah karakter nenek buyut, sekaligus karakter anak, peran keduanya sama-sama mengundang rasa simpati. Sebagai nenek buyut, Mama Coco mampu mengingatkan kembali atas kedua nenekku yang masih hidup. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan Mama Coco, hanya bisa duduk di kursi roda, hampir tidak mengenali orang disekitarnya, ingatan yang mulai pudar, dan nyaris tidak punya aktivitas yang berarti. Tokoh Mama Coco memang tidak banyak berbicara, namun ia secara langsung menusuk hati, terutama bagi kita yang cenderung mengabaikan nenek, kakek, buyut, dan mereka yang selama ini kita hanya menunggu kematiannya. Tokoh Mama Coco memang tidak banyak bersuara, namun ia dengan raut wajahnya yang pasrah, membuat kita tersadar bahwa kita pun mungkin akan berada di posisisnya dan tetap ingin dihargai sebagai manusia. Mama Coco berhasil membuat saya merasa bersalah karena sudah lama tidak menengok nenek. Hati ini sempat berbisik, 'Apakah kamu menunggu mereka meninggal baru kamu mau menjenguknya?'.

Coco sebagai anak perempuan. Meskipun aku tidak punya anak perempuan, namun kisahnya sukses membuat pilu. Melihat anak 5 tahun ditinggal begitu saja oleh papa nya, tanpa ada kabar, tanpa pernah melihatnya kembali. Coco kecil tidak banyak tampil dalam adegan, yang paling sering tampil adalah fotonya. Uniknya, aku dapat merasakan kegetiran hati seoarang anak yang tak pernah melihat lagi papanya, hanya dari sorot matanya. Plus, salah satu moment yang paling mengharukan adalah ketika Mama Coco yang sudah tua renta masih memanggil-manggil papa... Papa... . Rasa kerinduan seorang anak kecil yang takkan pernah sirna oleh waktu. Kerinduan seorang anak 5 tahun yang ditinggal begitu saja oleh papa nya.

Tidak salah jika film ini diberi judul Coco, karena karakter inilah yang menyambungkan antara masa lalu dan masa kini sebuah keluarga. Karena karakter ini yang membawa pesan mendalam tanpa perlu banyak berkata-kata. Pesan bagi anak-anak yang telah dewasa untuk tidak melupakan kakek, nenek, dan buyutnya. Juga pesan bagi orang tua untuk selalu ada dan meninggalkan kesan mendalam bagi anak-anaknya.

What this movie is all about
Jika ada satu kata tentang film ini, maka kata itu bukan Meksiko, atau Musik, atau bahkan Coco. Jika ada satu kata yang harus dipilih untuk menggambarkan film ini. Maka kata itu adalah Keluarga. Ya, film ini adalah tentang keluarga. Bagaimana kita terkadang membenci keluarga kita sendiri, dan di lain waktu kita justru merindukannya mati-matian. Hal-hal yang dirasakan seseorang dalam sebuah keluarga dimunculkan dalam film ini, bukan hanya dalam bentuk narasi dan cerita, tapi sampai ke dalam bentuk emosi. Mulai dari moment yang menguras emosi, ketika harus memilih antara panggilan hidup dan keluarga, ketika kabur dari rumah, ketika merasa tidak dirindukan, ketika disalahmengerti, ketika merasa tidak dipahami, ketika dilupakan oleh keluarga sendiri. Hingga momen-momen yang haru-bahagia, ketika seorang anak kembali bertemu dengan orang-tuanya, ketika kenangan indah yang telah lama hilang muncul kembali, ketika keluarga dapat memahami dan menerima diri kita seutuhnya, ketika semua keluarga berkumpul dan berbahagia.

There's a twist too
Secara pribadi aku menyukai film yang memiliki twist. Dan film Coco punya hal ini. Apa twist nya? Terlalu spoiler jika saya menuliskannya disini. Dengan lelucon dan pesan moral yang begitu mendalam, justru twist ini malah jadi seperti pelengkap film. Twist yang membuat penonton mengernyitkan dahi dan berkata 'Kok begitu?', 'Ooh, ternyata selama ini begini!'. Film ini bukan film hiburan dengan plot datar, atau film dengan twist yang bisa ditebak. Tapi jangan takut dan khawatir, meskpun spoiler, saya ingin mengatakan bahwa film ini berakhir dengan baik-baik saja. Yang memang selayaknya di film-film Disney.

In the end, this movie is very recomended for you to watch, especially with your beloved family.

Buat yang jauh dari anggota keluarga, atau kehilangan anggota keluarga, siap-siap membawa tissu karena air mata Anda akan tumpah.