Jumat, 11 Januari 2019

NOMADEN: no place to come home

Bila kamu bertanya kepadaku rumahku dimana? Aku akan menjawab sekarang aku bertempat tinggal di daerah ini. Adapaun jawaban langsung dari pertanyaan itu tak sangup ku jawab. Rumah, atau dalam bahasa inggrisnya ‘home’, telah lama hilang dari hidupku. Kemungkinan sejak aku mulai kuliah, aku telah kehilangan arti sebuah rumah. Hingga akhirnya aku bekerja, menikah, punya anak, tak kunjung pula ku temukan suatu bangunan, suatu tempat yang layak ku sebut rumah.

Aku merasa tidak ditakdirkan untuk tinggal di suatu tempat. Aku merasa tak punya rumah. Aku merasa tak punya tempat untuk pulang. Aku tak tahu di depan sana apakah ada suatu tempat atau suatu bangunan yang mau menampung diriku di masa tua nanti. Ataukah ku harus terus menerus berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Dari suatu bangunan ke bangunan lain. Iya, fisikku mungkin bisa berpindah-pindah, tapi hatiku memerlukan tempat berlabuh.

Mungkinkah ini kutukan, ataukah memang sudah takdir. Mungkinkah ada di antara manusia yang memang ditakdirkan untuk tidak tinggal menetap di suatu tempat? Mungkinkah itu aku? Tidak tahu juga, tidak ada yang tahu tentang takdir kecuali Ia yang menciptakan takdir itu sendiri. Tidak juga iblis atau malaikat. Namun Tuhan itu bijaksana, maha bijaksana. Memang ia tak memapukan kita sebagai manusia untuk mengetahui takdir, tapi Ia membuat kita manusia dapat merasakannya. Dan yang saat ini aku rasakan adalah; Ia tak mentakdirkanku untuk tinggal menetap di suatu tempat.

Bekasi, Depok, Cilegon, Surabaya, Serang, Tangerang, Jakarta, Bayah ... what next?