Senin, 09 Mei 2016

Welcome to Bayah

Memang tidak ada karpet dengan tulisan “Welcome” di pintu lobby. Tidak ada spanduk bertuliskan “Selamat Datang”, selayaknya spanduk untuk menyambut pejabat yang datang ke suatu daerah. Yang menurut saya spanduk “Selamat Datang” itu tidak ada faedahnya, selain hanya seremonial belaka dan membuang-buang uang negara. Spanduk yang tidak ada manfaat praktis bagi rakyat yang memodali pembuatan spanduk melalui pajak. Spanduk yang hanya berarti bagi pejabat-pejabat yang ingin (gila) dihormati. Bukankah pejabat, pemimpin daerah, pemimpin apapun adalah pelayan bagi yang dipimpinnya. Lantas logika mana yang yang membuat pelayan disambut begitu berlebihan oleh yang dilayani. Ok, cukup kekesalan saya terhadap spanduk “Selamat Datang, Pejabat” yang ga banget. Back to Bayah.

Kalimat ini terinspirasi dari ucapan seorang yang baik hati ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di gedung tiga lantai berwarna putih. “Selamat datang di Bayah” ujarnya. Yang waktu itu saya artikan sebagai ‘Selamat datang di tempat terpencil’. Yang lantas saya baru mengerti belakangan, ungkapan itu berarti ‘Selamat datang di tempat yang indah yang penuh dengan pelajaran berharga’.

Memangnya Bayah itu indah? Kata orang, keindahan hanya bisa dilihat oleh orang yang punya keindahan dalam hatinya. Kalau Anda bilang Bayah itu tidak indah, Anda bisa menyimpulkannya sendiri. Memangnya Bayah itu menyimpan banyak pelajaran? Kalau Anda hanya lewat, mungkin tidak banyak atau tidak ada pelajaran yang bisa diambil. Namun jika Anda tinggal, bekerja, bertahun-tahun di Bayah. Sulit rasanya jika tidak ada pelajaran yang diambil, kecuali Anda termasuk tipe orang yang terjebak pada rutinitas.

Kata ‘selamat datang’ itu hanya diucapkan sekali oleh seorang manusia. Namun saya mendengarnya berkali-kali. Dari deretan pohon karet yang berbaris rapi, dari sungai yang mengalir ke laut lepas, dari horizon yang menyatu dengan langit, dari langit yang terlukis megah. Mereka tak punya mulut untuk berucap, tak punya tangan untuk merangkul, tak punya bibir untuk tersenyum. Pohon, sungai, horizon, langit, mereka tak perlu semua itu untuk mengucapkan ‘selamat datang’, mereka tidak butuh. Ucapan ‘selamat datang’ nya tidak melewati telinga, tidak melalui mata, namun langsung menembus jiwa.

Pertama kali tiba di Bayah, saya disambut dengan langit sore yang menjelang gelap, dengan pepohonan rindang di kiri kanan, dengan jalanan yang tidak rata, dengan hujan yang menambah kesan suram. Yang di kemudian hari ternyata itu semua hanyalah kamuflase semata, seperti kulit kasar sang kerang yang menyembunyikan berkilaunya mutiara yang ada didalamnya.

Sebenarnya apa yang saya tulis disini berlaku juga di belahan dunia manapun. Bukan hanya di Bayah. Keindahan itu milik Allah, keindahan itu tidak Allah letakkan di titik manapun di peta. Keindahan itu Allah letakkan di hati. Dimanapun posisi anda di peta, jika di hati Anda ada keindahan, Anda akan melihat keindahan itu melalui kedua mata Anda, mendengarnya dari kedua telinga, merasakannya dalam jiwa. Bagi saya, sulit untuk tidak melihat keindahan di Bayah.

Welcome to Bayah, welcome to it’s beauty.

Selasa, 03 Mei 2016

Road to Bayah

Anda pernah berkendara ke Pelabuhan Ratu? Jika sudah pernah, Anda pasti tahu seperti apa rutenya. Jika belum, sesekali Anda perlu menelusuri jalan tersebut. Tapi jangan berhenti di Pelabuhan Ratu, teruslah melaju melewati Jawa Barat menuju Banten, menuju pantai selatan nan indah. Melewati suatu wilayah bernama Bayah. Nama wilayah yang tak dikenal oleh banyak penduduk Indonesia, bahkan penduduk Banten sendiri. Daerah yang sampai saat tulisan ini ditulis, saya pun tidak tahu ada apa di Bayah sana. Hanya firasat yang berkata 'ada sesuatu' di Bayah. Suatu pelajaran hidup dari Ia yang tak pernah mati.

Saya rela, ikhlas, ridho, menelusuri jalan yang sempit, berkelak kelok, naik turun, terkadang rusak, selama berjam-jam. Demi mencari nafkah untuk keluarga. Menukar waktu, tenaga, dan pikiran demi anak supaya tetap sekolah dan istri supaya bisa tetap masak, dan bisa tetap belanja, dan bisa tetap ke salon, dan bisa tetap ikut arisan, dan bisa tetap... ah kebutuhan seorang wanita memang tiada habisnya.

Mengapa saya tidak mengambil jalan tol ke Bandung saja? Bukankah jalan tol Cipularang lebih lega, lebih bagus, lebih dekat, tidak berkelak kelok. Tentu saja itu pertanyaan yang bodoh. Saya kan tujuannya ke Bayah, masa iya memilih lewat Cipularang. Biarpun kata orang jalan ke Bandung via Cipularang lebih enak daripada jalan ke Bayah via Sukabumi. Bagi saya jalan manapun tetap tidak enak, karena mana ada aspal dan beton yang empuk dan manis.

Ya, sesulit apapun jalannya, jika jalan itu mengarah pada tujuan kita maka jalan itulah yang kita tempuh. Sebalinya, semudah apapun jalan yang terbentang, jika itu tidak mengantarkan kita pada tujuan, maka jalan itu tidak kita ambil. Right? Logika sederhana yang bahkan Anda pun paham.

Sayangnya logika anak SD tersebut nampaknya tak berlaku jika saya berhadapan dengan jalan hidup, seolah-olah logika tersebut hanya berlaku di jalan raya. Hidup ini ujungnya adalah mati. Setelah di ujung nanti, apa yang mau dituju? Mau kemana akhirnya? Sebagai orang yang normal, saya menjawab dengan yakin mau ke surga. Benarkah saya mau ke surga? Ketika jalan yang saya lewati nampaknya tidak menuju kesana!

Para nabi, mereka yang semasa hidupnya telah dijamin masuk surga ternyata tidak melewati jalan seperti yang selama ini saya tempuh. Para nabi melewati jalan dengan berbagai ujian, cobaan dan kesusahan. Jalan yang berekelok-kelok. Sementara kita sepertinya melewati jalan yang aman, nyaman dan berkecukupan. Jalan tol. Saya takut jalan yang saya tempuh selama ini salah.

Para nabi mengalami kelaparan sementara saya cukup makan minum. Para nabi pernah di caci di hina sementara saya berharap di puji dan di hormati. Para nabi bersusah payah mengorbankan waktunya demi agama sementara saya mengorbankan agama demi mendapatkan waktu untuk bersenang-senang. Ya Allah betapa jauh tersesat jalan yang telah hamba tempuh. Semoga Engkau masih memberikan jalan kembali.

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan). Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS. Al-Balad: 10 - 11) 

Ya Allah, perjalanan ke Bayah ini adalah salah satu ayat dari ayat-ayatMu. Dengannya Engkau mencoba mengingatkan saya untuk menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Jalan yang ditempuh para nabi, jalan yang ditempuh orang-orang soleh terdahulu. Berikanlah kami hikmah, berikanlah kami kekuatan. Berilah kami hati dan lidah yang tak pernah mengeluh, sesukar apapun jalan yang kami tempuh.