Kamis, 14 Mei 2015

filosofi BIS JEMPUTAN

Saya dulu punya cita-cita yang konyol, yaitu pergi pulang kerja naik bis jemputan. Sungguh saya sempat iri dengan istri saya yang di perusahaanya memfasilitasi transportasi pergi pulang kerja dengan bis jemputan. Rasanya enak naik bis jemputan, tidur di bis, sampai-sampai sudah di depan kantor. Ga perlu khawatir terlambat, ga perlu takut kelewatan dan yang paling penting ga perlu ditagih kondektur. Cita-cita itu akhirnya tercapai juga di 2012 dan saya menikmatinya. Hanya untuk sementara waktu.

Seperti layaknya sebuah hubungan, saya dengan bis jemputan juga mengawali hubungan kami dengan harmonis, tidak ada masalah, fine-fine aja. Tiap hari naik bis jemputan rasanya enak, bisa dapat tambahan jam tidur, bisa menghemat biaya transport, bisa sambil denger musik, baca buku, ngemil, liat pemandangan, ngobrol. Sampai suatu ketika kejenuhan melanda, di titik itu sebuah suara filosofis terlempar begitu saja entah dari sudut pikiran yang mana. Suara itu berkata :

'Naik bis jemputan itu nyaman memang, tapi kamu tidak bisa menentukan kapan mulai berangkat, kapan mulai pulang, kapan dan dimana mau berhenti di tengah jalan untuk sholat, tidak bisa kentut semaumu. Kamu tidak punya kontrol. Ketika naik bis jemputan kamu harus meninggalkan rumah setengah jam lebih awal dan tiba di rumah setengah jam lebih telat, dibanding dengan menggunakan kendaraan sendiri. Memang benar naik bis jemputan lebih hemat, tapi bukankah uang dapat dicari dan waktu takkan terulang. Berapa rupiah yang bersedia kamu tukar dengan satu jam tambahan di rumah untuk keluargamu? Sadar atau tidak, naik bis jemputan membuatmu punya kebiasaan baru yang kurang baik, yaitu tidur di pagi dan sore hari. Lebih dalam lagi, tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang naik bis jemputan. Mereka adalah golongan para karyawan, golongan yang mengisi lapangan pekerjaan. Bukankah kamu tidak ingin menjadi golongan itu, bukankah kamu justru ingin menjadi golongan yang membuka lapangan pekerjaan. Di sisi lain kamu tidak bisa menyalahkan mereka yang naik bis jemputan. Kita semua punya peran masing-masing. Dan jelas sekali peranmu bukan diantara mereka. Peranmu bukan berada di kursi bis jemputan yang membuatmu kehilangan kendali. Peranmu bukan di perusahaan yang dapat mengatur kerjamu. Takdirmu adalah memegang kendali, bukan terbawa arus.'

Terkadang ada mimpi yang terlihat indah dari kejauhan, dan ketika mimpi itu terwujudkan ternyata mimpi itu hanya sekedar fatamorgana.

0 komentar:

Posting Komentar