Kamis, 30 September 2010

Demi Anak-anak Saya Harus Mampu Bertahan

Pagi ini saya terima majalah Tarbawi pertama saya, yang saya niatkan untuk langganan. Baru sore ini saya sempat membacanya setelah jam kantor. Ada satu tulisan yang bikin dada saya terenyuh, rasanya seperti ingin ikut menangis membaca kisah Ibu Etty Gipti Aty dalam perjuangannya menjadi Ibu sekaligus Ayah bagi anak-anaknya. Cerita ini saya ketik ulang dari Majalah Tarbawi edisi 236 Th. 12, Syawal 1431, 7 Oktober 2010.

Sewaktu suami divonis terkena penyakit jantung dan diperkirakan hanya bertahan hidup selama dua tahun, saya sangat shock. Segala usaha coba saya jalani untuk kesembuhannya dari medis hingga alternatif. Tak sedikit biaya yang harus kami keluarkan.

Dua tahun terakhri sebelum meninggalnya, suami sudah tak kuat bekerja, akhirnya suami memutuskan untuk berhenti. Selama berhenti bekerja itulah, kami tidak memiliki pendapatan tetap. Karena simpanan uang sudah habis untuk makan dan berobat. Anak saya empat orang dan semuanya masih sekolah saat itu. Hingga untuk beberapa lama, saya dan suami hanya mengandalkan bantuan dari saudara dan menjual barang-barang ang ada di rumah seperti pakaian, jam dinding hingga cincin kawin saya. rasanya ingin sekali menangis ketika suatu hari anak saya yang masih SD menanyakan baju-bajunya kemana, padahal sudah saya jual untuk bertahan hidup. Alhamdulillah setelah diberi pengertian ia mengerti.

Pernah kami benar-benar tidak memiliki uang untuk makan. Suami yang saat itu sedang sakit juga akhirnya pergi keluar untuk menjual pakaian dan celana panjangnya seharga Rp. 4000 tapi baru dibayar setengahnya. Akhirnya cukup saya belikan nasi untuk suami dan anak-anak. Karena tidak cukup untuk semua, saya haya minum air putih agar mereka bisa makan dan itu sering saya lakukan. Kalau ditanya suami, saya bilang sudah makan. Semuanya saya rahasiakan karena saya menjaga perasaan suami yang sedang sakit dan anak-anak agar tidak terlalu memikirkan.

Setelah bertahan sekitar lima tahun dari sakitnya, akhirnya suami meningggal. Waktu itu yang ada di pikiran saya, bagaimana cara menghidupi empat orang anak. Saya benar-benar bingung, karena saya merasa tidak bisa apa-apa.


Dalam keadaan terpuruk itu, saya banyak termenung. Sampai ada saudara saya yang datang memberikan nasihat. Dia bilang Allah itu tidak akan membiarkan hambaNya sendirian. Dia juga mengatakan bahwa ada seorang penjual rujak yang memiliki lima orang anak. Tapi dari hasil berjualan rujak itu, dia bisa membiayai kuliah kelima orang anaknya dan mereka sudah menjadi orang sukses.

Tadinya saya tidak percaya. Karena ingin membuktikan perkataan saudara saya itu, saya pergi minta diantarkan ke penjual rujak itu untuk mengetahui apa yang bisa membuatnya bertahan dan kuat menghadapi hidup.


Saya bertanya kepadanya, apa yang dia lakukan sampai bisa sukses mendidik anak-anak. dia hanya bilang tawakal pada Allah. Dia juga bilang, mengangislah kepada Allah di setiap malam. Sampai di sini saya memutuskan untuk bertaubat untuk tidak meratapi apa yang terjadi pada saya. Karena dengan kepasrahan dan keikhlasan, semua masalah akan lebih mudah dihadapi. Alhamdulillah, saya mulai ikut pengajian dan organisasi-organisasi yang positif. Saya juga sering bersilaturahmi ke orang-orang yang sudah berhasil, bukan maksud saya agar dikasihani tapi saya hanya ingin tahu apa yang mereka lakukan ketika hidup mereka sedang berada di bawah tekanan. Sebagian besar dari mereka bilang, kuncinya hanya satu, pasrah kepada Allah dibarengi dengan usaha. Semenjak itu saya jadi lebih tentang dalam menghadapi apapun. Saya usahakan untuk terus beristighfar sepanjang tarikan napas saya.

Dalam keadaan yang sempit ini, saya bersyukur saudara banyak yang membantu. Ada yang memberikan saya uang, beras, sabun, kecap dan beberapa kebutuhan lain. Saya senang karena ada yang membantu, tapi dalam hati saya merasa sedih sampai kapan akan seperti ini. Rasanya malu sekali kalau selalu merepotkan saudara.Sampai kemudian kakak saya memberikan modal kepada saya untuk membuka toko kelontong di terminal daerah Bumiayu, Jawa Tengah. Walaupun bukan berbentuk toko hanya semacam gerobak/bedeng, tapi lumayan bisa untuk menyambung hidup. Setiap hari sejak jam empat sore hingga pagi dini hari saya jualan disana. Saya tidur di gerobak bergantian dengan anak saya. Dinginnnya angin malam dan suasana
terminal yang terkadang banyak premannya tak saya hiraukan. Malam-malam saya lalui tanpa merasa takut sama sekali. Padahal sat itu saya sudah berstatus janda dan hanya ditemani anak saya yang masih SMP. Saya tetap menunggu pelanggan walaupun terkadang sepi. Ada niat dalam diri saya yang menguatkan, bahwa saya harus bisa bertahan demi anak-anak. Sampai saya bilang ke anak-anak, akalian harus bisa kuliah semuanya. Sampai kapanpun saya ingin memperjuangkan anak-anak. Semuanya akan saya pertaruhkan untuk mereka, bahkan kalau gigi ini bisa dijual akan saya jual untuk mereka.

Saya suka sedih melihat anak saya yang ikut menunggu di terminal. Buku-buku pelajaran ia bawa semua dan tugas dikerjakan di gerobak ini. Akhirnya saat di kelas ia suka mengantuk. Pernah sekali ia sampai ditegur guru BP, namun seteleh diberikan penjelasan guru BP tersebut malah menangis melihat perjuangan anak saya.

Setelah lulus SMA, anak saya yang biasa menemani saya di gerobak dibawa oleh pamannya ke Jakarta. Di sana dia kuliah, dibantu juga oleh pamannya. Dia juga membantu saudaranya menjadi tukan reparasi alat-alat elektronik. Dia mengerjakan apa saja yang ia bisa lakukan. Malah saya pernah melihatnya bantu-bantu jadi tukang bangunan. Apapun dia lakukan sampai akhirnya bisa mengirimkan saya uang. Padahal di sana dia juga sedang kuliah.

Karena inginnya semua anak tetap sekolah, saya terpaksa pinjam ke rentenir. Saya benar-benar tidak menemukan jalan keluar. Saya tidak enak jika harus minta bantuan atau meminjam ke saudara. Saya malu karena melulu minta bantuan. Akhirnya ketika salah satu anak saya ada yang sampai lulus kuliah, saya mengangis hingga kedua mata saya bengkak. Rasanya semua perjuangan hiudp saya seprti diputar kembali. Ingin rasanya saya berbagi kebahagiaan itu dengan suami.

Alhamdulillah, saat ini anak-anak ada yang sudah menikah. Salah satu anak saya yang bekerja di Bank Indonesia pernah menawari saya untuk dibelikan rumah atau mobil, dari hasil tabungannya. Saat ditanya seperti itu, saya menangis. Saya bilang, saya hanya ingin naik haji. Saya ingin taubat sama Allah, karena sewaktu susah, saya sering pinjam sama renternir. Alhamdulillah, keinginan itu akhrinya terwujud dari hasil kerja keras anak-anak saya. dan saya bangga, karena mereka tidak pernah mengeluh tentang kondisi orang tua mereka. Sampai sekarang kalau melihat gerobak jualan di pinggir jalan saya suka menangis sendiri. Dulu saya tidur di sana setiap malam. Mungkin jika tidak ada kesusahan hidup, kita tidak akan pernah belajar untuk bersyukur.


Demikian kisah perjuangan hidup Ibunda Etty Gipti Aty, semoga Allah senantiasa menjaga dirinya dan keluarganya. Terbesit dalam hati kecil ini rasa malu. 'Apa yang telah kulakukan untuk keluargaku, untuk kedua orang tuaku, untuk istri dan anakku, untuk adik-adikku... '. Sepertinya lidah dan hati ini harus banyak-banyak beristighfar.

Astagfirullahaladzim...

0 komentar:

Posting Komentar