Sabtu, 19 September 2015

Menjadikan PERBUATAN SEDERHANA menjadi bermakna


Besar kecilnya makna suatu tindakan bukan ada pada tindakan itu sendiri. Lebih kepada niatnya, tujuannya. Bisa saja dua orang melakukan tindakan yang sama, namun maknannya berbeda. Atau bisa jadi satu orang melakukan tindakan yang sama dalam dua waktu yang berbeda, namun karena tujuan ke dua tindakan tersebut berbeda maknannya berbeda. Sebagai contoh, ada dua orang tukang bangunan, disaat yang sama mereka sedang menyusun bata untuk membuat tembok. Proses yang dijalani kedua orang tersebut sama, cara menyusun batanya sama, dan hasilnya pun sama. Sebuah tembok yang berdiri kokoh. Namun ada makna yang berbeda yang dirasakan dua orang tukang tersebut, yang memberi perbedaan mendalam atas kerja dan tindakan yang mereka lakukan.

Tukang bangunan yang pertama, setelah menyelesaikan temboknya, ia melihat sejenak hasil kerjanya, memastikan temboknya kokoh dan lurus. Keringatnya bercucuran namun merasa cukup puas. Ia dibayar untuk membangun rumah seorang pengusaha. Tukang bangunan yang kedua, setelah menyelesaikan temboknya, ia memandang hasil kerjanya, sama seperti tukang yang pertama, memastikan temboknya kokoh dan lurus, kemudian benar-benar ia pastikan lagi kalau tembok ini benar-benar kokoh dan dapat bertahan lama. Keringatnya pun sama bercucuran, namun ada yang menetes selain keringat, yaitu air matanya. Tukang yang kedua, ia bukan hanya cukup puas, ia terharu, ia bahagia. Bedanya, tukang yang kedua ini tidak dibayar untuk melakukan pekerjaanya. Ia tidak dibayar untuk membangun bangunan untuk panti asuhan. Karena ia merasa tidak punya uang untuk disumbangkan, maka ia menyumbangkan apa yang ia bisa, yaitu tenaga dan keahliannya.

Tembok yang dibangun sama kokohnya, usaha yang dikeluarkan sama kerasnya, waktu yang dibutuhkan sama lamanya. Namun makna yang ada dibaliknya terpaut jauh. Bukan nilai uang yang dijadikan ukuran. Semata-mata karena apa yang dikerjakan diniatkan bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk orang banyak, orang lain yang membutuhkan. Cerita fiksi diatas, terjadi pada kehidupan kita sehari-hari. Dari ribuan buruh yang bekerja di pabrik, mereka melakukan pekerjaan rutin yang sama dari hari ke hari, gajinya sama, produk yang dihasilkan pun sama. Yang membuat berbeda adalah niat dibalik hati masing-masing pekerja. Ada yang niat bekerja untuk menafkahi anak istri, ada yang niat bekerja untuk orang tua, ada pula yang bekerja untuk membayar cicilan motor ninja.

Pernahkah kita terpikir bahwa apa yang kita lakukan kurang bermakna. Bahwa kita perlu melakukan hal-hal besar untuk membawa perubahan kepada masyarakat. Bahwa kita perlu menjadi 'seseorang yang dianggap' untuk memberi dampak yang luas kepada masyarakat banyak. Tenanglah sebentar, bukan tindakan kecilmu yang tidak bermakna, namun niat yang ada dalam dirimu yang menjadikannya kurang bermakna. Niatkan perbuatan kita bukan hanya untuk diri kita pribadi, bukan hanya untuk keluarga kecil kita. Niatkan pula untuk kepentingan orang banyak.

Contoh kecilnya, jika kita rajin beribadah pasti kita terpikir untuk menjadi orang yang soleh. Agar hidup kita tenang, agar kita semakin dekat dengan Allah, agar doa-doa kita diterima. Dengan ibadah kita yang sama, coba tambahkan niat dan tujuan baru disitu. Jika kita rajin beribadah, insyaallah doa-doa kita lebih mudah diterima, sehingga saya bisa berdoa untuk saudara-saudara saya sesama muslim. Jika kita rajin beribadah, insyaallah hidup kita tenang, sehingga ketenangan ini bisa kita pancarakan dan tularkan kepada orang-orang yang dekat dengan kita. Bukankah di setiap akhir shalat kita menengok ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan salam. Mengucapkan doa keselamatan kepada orang yang ada di kanan dan di kiri kita. Itu artinya segala perbuatan baik, kita niatkan juga untuk orang lain. Insyaallah jadi lebih bermakna.

0 komentar:

Posting Komentar