Rabu, 16 September 2015

ketika anakku bertanya KOMA ITU APA


Ini gara-gara penyiar radio itu, yang berulang kali mengucapkannya berulang-ulang. Anakku tahu sembilan itu apa dan satu itu apa, hanya saja ada satu kata yang terselip diantara sembilan dan satu yang mengganggu otak kecilnya. Satu kata itu adalah 'koma'. Koma itu... Sambil berpikir. Koma itu... Istriku juga ikut berpikir. Baru kita berdua tersadar kalau kita mengerti suatu konsep tanpa bisa menjelaskannya kepada orang lain, yaitu konsep 'koma'. Bagaimana menjelaskan konsep koma kepada anak usia 5 tahun. Akhirnya pikiranku menemukan jawaban simpel yang pasti bisa dimengerti oleh semua anak. 'Kalau koma lima itu artinya setengah, separuh' aku bilang begitu. Lantas malaikat kecil itu menyahut lagi 'kalau koma satu sembilan artinya apa?'. Ooow, jawaban yang salah dari seorang ayah. Pertanyaan yang terakhir itu aku pura-pura tak mendengarnya, dan mengalihkan perhatiannya pada makanan, strategi yang kemungkinan besar berhasil.

Perjalanan kali ini sudah usai, rumah sudah dikunci, ia pun sudah tertidur lelap sedari di mobil tadi. Tapi pertanyaan itu masih saja menggantung di kepalaku. Pertanyaaan tentang koma. Aku sadar aku masih punya PR untuk menjelaskan koma itu apa. Aku tak bisa membayangkan anakku besar tanpa ia tahu konsep koma. Anehnya aku juga lupa kapan dan bagaimana aku pertama kali belajar konsep koma. Bagaimana guru-guru dulu menjelaskan kepada anak-anak mengenai konsep koma? Ajaib. Mereka, para guru, dapat mengajar sampai kita tahu tanpa kita ingat bagaimana mereka mengajarkannya. Luar biasa. Dan sekarang aku disini, terbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur pulas. Mencoba menarik kembali memori tentang pelajaran koma dan bagaimana menjelaskannya kepada anak TK.

Inilah rasanya menjadi ayah. Tidak bisa tidur hanya gara-gara anakmu bertanya 'koma itu apa?' Tak terhitung berapa banyak pertanyaan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya seperti 'kenapa abis satu, dua? Kenapa polisi bajunya coklat? Emang Allah dimana? Kok aku belum punya ade?' dan sederet pertanyaan lain yang jawabannya entah ada atau tidak jika dicari di google. Ajaib, seorang tanpa pendidikan sekolah dan logika sederhana bisa menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang begitu brilian namun sederhana. Yang membuat seorang sarjana S1 kebingungan mencari jawaban yang tepat. Tapi tidak usah takut, dia yang bertanya takkan mencapmu sebagai 'orang bodoh' jika kamu tak bisa menjawabnya, ia akan tetap menganggapmu ayah. Itulah letak keajaiban yang kedua, ketika ia bertanya tanpa menghakimi. Tanpa memberi label 'bodoh' pada siapa yang tak sanggup menjawab pertanyaannya.

Kelak ia akan tahu, atau akan lupa akan pertanyaannya sendiri. Seiring dengan pendidikan sekolah yang penuh pertanyaan dangkal dan rumit. Terkadang seorang ayah pernah terpikir agar kau tak tumbuh besar. Tetap kecil, tetap lugu, tetap menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dijawab seorang ayah. Tetapi kamu tahu itu tak mungkin, ia akan tumbuh besar, tumbuh dewasa, menjadi seorang ayah juga yang sama tak bisa menjawab pertanyaan anaknya.

0 komentar:

Posting Komentar