Kamis, 14 Februari 2019

mereka yang hidup dalam KEMAPANAN

Ada fenomena aneh yang kurasakan sekarang ini. Orang yang diawal-awal hidupnya, ketika kecil, masih sekolah sampai dengan kuliah, mungkin sampai di masa-masa karirnya merasakan hal-hal yang bisa dibilang pahit. Kekurangan secara ekonomi, harus berusaha jauh lebih keras dibanding mereka yang berada, rela hidup dengan standar konsumsi  yang kurang dibanding orang kebanyakan. Mereka merasa itu adalah sebuah perjuangan, pengorbanan, harga yang harus ditebus untuk lepas dari kondisi yang menahun mereka alami. Kondisi yang seringkali juga dialami oleh orang tua mereka. Entah kepahitan itu sebuah bentuk kutukan ataupun keharusan. Beberapa dari mereka berhasil mengubah yang pahit menjadi manis.Berhasil menjadi lebih dari sekedar pas-pasan. Berhasil keluar dari zona yang tidak enak. Yang entah bagaimana menggambarkannya, mereka akan bilang "kamu ga tahu bagaimana tidak enaknya."

Golongan ini, yang tidak jelek. Setelah menjalani apa yang mereka sebut masa-masa perjuangan, akhirnya mengalami masa-masa kemapanan. Yang tadinya meringkuk di angkot untuk menuju ke suatu tempat, sekarang duduk nyaman di mobil pribadi yang bisa jadi disupiri. Yang tadinya tidur di rumah petak atau kontrakan, sekarang bernaung di perumahan elit yang luasnya ratusan meter. Yang tadinya sengaja makan hanya satu kali sehari, sekarang bisa memilih mau makan apa dan dimana. Mereka tidak salah, sama sekali tidak salah.

Lagipula siapa yang mau berdesak-desakan di angkutan umum, siapa yang mau tidur di tempat sempit dan pengap, siapa yang mau makan apa adanya. Kebanyakan orang tidak mau. Kalau harus memilih antara naik angkot atau alphard, orang normal pasti memilih alphard. Lantas apa yang salah? .... Tidak ada yang salah, bukankah kubilang tadi bahwa tidak ada yang salah. Berhentilah berpikir dalam kerangka benar atau salah. Kita hanya sedang menceritakan suatu golongan orang. Golongan orang yang saat ini hidup dalam kemapanan, dimana sebelumnya mereka hidup dalam kesusahan. Setelah kemapanan didapat, lebih dari separuh hidup sudah selesai, misi utama terselesaikan.

Sekarang bagi mereka, adalah bagaimana mempertahankannya hingga anak cucu. Sehingga keturunan mereka tidak lagi merasakan kesulitan yang dulu mereka rasakan. Tidak perlu menahan lapar, tidak perlu menabung untuk sekedar makan di restoran, tidak perlu lagi diremehkan. Tujuannya mulai sedikit berubah bagi diri, anak, dan cucu mereka. Dari tadinya menggapai kemapanan, sekarang adalah untuk mempertahankan kemapanan. Untuk kembali hidup susah seperti dulu adalah suatu kegagalan, kemerosotan, keterpurukan. Kemapanan sudah menjadi suatu standar baru bagi kehidupan mereka. Kendaraan pribadi, tinggal di kawasan perumahan menengah keatas, makan tiga kali sehari, belajar di sekolah swasta, handphone high end, dan sebagainya.

Suatu kehidupan yang banyak orang impikan. Mereka menikmati pandangan-pandangan mata orang-orang disekelilingnya. Pandangan saudara dan handai taulan, pandangan mantan teman sekolah dan kuliah; pandangan tetangga atau bahkan siapapun. Pandangan mereka yang secara ekonomi kurang beruntung atau masih dalam masa-masa perjuangan. Pandangan mata yang entah hormat, kagum, atau iri. Toh semuanya mereka nikmati. Baginya pandangan-pandangan itu adalah bonus dari kemapanan yang sudah mereka dapat. Siapapun yang saat ini tidak mapan, bagi mereka terbagi dalam tiga golongan. Yaitu mereka yang masih dalam proses perjuangan, mereka yang tidak mau menjalani proses perjuangan, atau mereka yang memang bernasib malang.

Mapan, stabil, main aman, terencana, dapat diprediksi, sudah dipersiapkan, adalah kata dan frase yang mereka sukai. Entah apakah sempat ada terbesit dalam hidup mereka bahwa hidup yang mereka jalani itu membosankan. Entah apakah sempat terpikirkan bahwa kemapanan itu hanyalah seperti kamar mandi dalam sebuah rumah. Diperlukan tapi bukan itu tujuan sebuah rumah dibangun. Ada tujuan yang lebih besar, ada makna yang lebih dalam, ada rasa yang lebih luas, dari sekedar menjadi mapan. Tujuan, makna, dan rasa yang untuknya kemapanan siap untuk dikorbankan. Yang untuknya orang rela untuk kelaparan, kehilangan tempat tinggal, dan hidup dalam apa yang kebanyakan orang sebut sebagai kesengsaraan.

Sebagai penutup. Apakah pernah terbersit dalam hidupmu bahwa ada manusia yang hidup di desa terpencil, pengangguran, dan hanya bisa makan sekali sehari kemudian mendapati hidupnya bahagia, bermakna, dan damai. Jauh lebih bahagia, bermakna dan damai dibanding golongan mereka yang hidup mapan di kota. Tentu saja hidup tak bisa dinilai sebatas hitam atau putih. Hidup lebih berwarna dari itu, bahkan lebih berwarna dari pelangi sekalipun. Dan kemapanan berupa kecukupan harta benda duniawi hanyalah satu warna dari warna-warna pelangi kehidupan.

0 komentar:

Posting Komentar