Kamis, 14 Februari 2019

MERAYAP, melata, menggeliat

Suatu ketika, saat sedang duduk di tepi pantai. Saya mendapati seekor belatung atau ulat kecil. Warnanya putih seukuran mata pensil, panjangnya tidak sampai satu centimeter. Ia merayap, melata, menggeliat seperti sedang berupaya keras mencapai sesuatu. Sambil sesekali angin laut menghempaskan tubuhnya yang tanpa kaki tanpa lengan itu. Terus saja ia merayap, melata, menggeliat seakan tak peduli apakah hempasan tadi membuatnya menjadi lebih dekat atau lebih jauh dari tujuannya, itu pun kalau ia punya tujuan. Tak pula ia peduli akan resiko ombak yang bisa menenggelamkan serta mengakhiri hidupnya, hidup yang entah punya arti atau tidak.

Ia terus merayap, melata, menggeliat entah mau kemana, entah apa tujuannya. Karenanya mengundang diriku untuk bertanya kepada makhluk yang nampak remeh itu. Wahai ulat kecil! Engkau mau kemana? Apa yang engkau tuju? Angin begitu besar, ombak bisa datang kapan saja. Mengapa engkau tak diam saja menunggu rezeki yang sudah pasti dijamin Tuhanmu. Atau menunggu ajal yang pasti. Mengapa engkau seakan masih berupaya begitu keras, padahal usahamu tak seberapa. Sedari tadi kau bergerak, bahkan tak setengah meter pun kau capai. Mengapa kau tak menyerah saja? Berhenti merayap, melata, menggeliat.

Sudah jadi kebiasaanku untuk menyimak, merasa, dan meresapi apa yang alam coba ungkapkan. Sekalipun ia nampak remeh seperti seekor ulat ini, atau sehelai daun yang jatuh, atau sebatang rumput yang kering. Jika aku beruntung maka alam akan membisikkan rahasia-rahasia yang hanya dapat diengar oleh orang-orang yang mau mendengar. Rahasia-rahasia para orang suci. Jadi, apa yang hendak kau sampaikan wahai ulat kecil?

Seperti biasa juga alam tak lantas memberi jawaban. Alam ingin menguji, bukan hanya siapa yang bersedia mendengarkan, tapi siapa yang sabar. Sampai pada akhirnya alam kan memberi jawaban. Bukan melalui gelombang suara yang dapat didengar gendang telinga. Bukan pula melalui tulisan-tulisan. Jawaban itu langsung berupa pemahaman yang menyerap ke hati. Pemahaman baru yang ku yakin itu bukan datang dari diriku sendiri. Pemahaman itu terserap dalam jiwa langsung tanpa perantaraan kata dan pemikiran.Ibarat zat gizi yang langsung diserap oleh tubuh tanpa perlu dikunyah lewat mulut, melalui usus, dan dicerna oleh lambung.

Ulat kecil itu lantas mengajariku tentang makna mengapa ia merayap, melata, menggeliat seperti itu. Ia kemudian menjawab pertanyaan "Mengapa engkau tak menyerah saja?" Jawabannya bijak, dalam, dan menohok. Sekaligus ringkas, sederhana, dan lugas. Begini dia berujar :

"Aku tak diperintahkan untuk diam saja, aku diperintah untuk seperti ini, merayap, melata, menggeliat. Persoalan apakah angin kan menghempaskanu entah kemana. Atau persoalan resiko ombak yang berpotensi menenggelamkanku. Maka aku tak ada urusan dengan itu semua, aku tak peduli. Urusanku hanyalah menjalankan apa yang telah Allah perintahkan  untuk dijalankan. Yaitu merayap, melata, menggeliat". Dan hanya sebait paragraf itu yang ulat kecil itu ungkapkan.

Seorang sufi pernah ditanya oleh muridnya, mgengapa guru tak pernah menceritakan hikmah dari suatu cerita. Sang  guru balik bertanya kepada muridnya. Maukah kau memakan makanan yang dikunyahkan orang lain untukmu?

Terakhir terdengar sayup-sayup suara, yang sepertinya berasal dari ulat kecil itu; Wabidzalika umirtu wa ana minal muslimiin.

0 komentar:

Posting Komentar