Kamis, 21 Desember 2017

COCO, antara kegembiaraan dan keharuan

Rabu, 20 Desember 2017. Aku mengajak putra pertamaku yang baru duduk di kelas 3 SD nonton bioskop film di bioskop. Sebagai hadiah setelah mengambil raport. Kebetulan film animasi yang sedang tayang di XXI adalah Film COCO. Sebetulnya film ini sudah beberapa minggu tayang, hanya saja aku agak enggan menonton film tersebut. Hanya karena banyak karakter tengkorak di film itu, sesuatu yang sepertinya kurang pas ditonton oleh anak-anak, cenderung membuat mereka jadi penakut. Namun setelah mendengar referensi seorang teman yang sudah menontonnya. Aku jadi penasaran dengan filmnya. Dan jadilah siang itu, pukul 14.25 saya mengajak si junior nonton film.

[spoiler alert]

Let start with the end
Kesannya setelah selesai menonton film Coco, kaki ini tidak ingin langsung beranjak dari kursi penonton. Aku tediam sebentar merenungi makna keluarga. Keluarga yang selama ini ku anggap take it for granted, biasa saja. Ternyata film ini sanggup menyadarkan kembali atas makna keluarga. Begini seharusnya para sineas dan rumah produksi membuat film, tidak sekedar menghibur tapi memiliki makna dan pesan moral. Bahkan sempat di pertengahan film, air mata ini hampir saja tak terbendung, jika saja tidak gengsi menangis di depan anak. Renunganku tak bertahan lama, melihat anak 8 tahun ku menari random mengikuti musik latar yang memang memanjakan telinga.

Kesimpulannya, film ini sangat layak ditonton. Bukan hanya untuk anak-anak, terutama untuk orang dewasa, dan terutama lagi untuk para papa. Lebih bagus lagi jika menonton bersama seluruh anggota keluarga, dijamin setelah film ini selesai rasanya ingin merangkul semua anggota keluarga. Film yang menghibur sekaligus mengharukan, film yang membuat tertawa sekalgus memancing air mata. Kita seolah dibawa dalam roller coaster emosi.

By the way, who is Coco
Coco adalah karakter nenek buyut, sekaligus karakter anak, peran keduanya sama-sama mengundang rasa simpati. Sebagai nenek buyut, Mama Coco mampu mengingatkan kembali atas kedua nenekku yang masih hidup. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan Mama Coco, hanya bisa duduk di kursi roda, hampir tidak mengenali orang disekitarnya, ingatan yang mulai pudar, dan nyaris tidak punya aktivitas yang berarti. Tokoh Mama Coco memang tidak banyak berbicara, namun ia secara langsung menusuk hati, terutama bagi kita yang cenderung mengabaikan nenek, kakek, buyut, dan mereka yang selama ini kita hanya menunggu kematiannya. Tokoh Mama Coco memang tidak banyak bersuara, namun ia dengan raut wajahnya yang pasrah, membuat kita tersadar bahwa kita pun mungkin akan berada di posisisnya dan tetap ingin dihargai sebagai manusia. Mama Coco berhasil membuat saya merasa bersalah karena sudah lama tidak menengok nenek. Hati ini sempat berbisik, 'Apakah kamu menunggu mereka meninggal baru kamu mau menjenguknya?'.

Coco sebagai anak perempuan. Meskipun aku tidak punya anak perempuan, namun kisahnya sukses membuat pilu. Melihat anak 5 tahun ditinggal begitu saja oleh papa nya, tanpa ada kabar, tanpa pernah melihatnya kembali. Coco kecil tidak banyak tampil dalam adegan, yang paling sering tampil adalah fotonya. Uniknya, aku dapat merasakan kegetiran hati seoarang anak yang tak pernah melihat lagi papanya, hanya dari sorot matanya. Plus, salah satu moment yang paling mengharukan adalah ketika Mama Coco yang sudah tua renta masih memanggil-manggil papa... Papa... . Rasa kerinduan seorang anak kecil yang takkan pernah sirna oleh waktu. Kerinduan seorang anak 5 tahun yang ditinggal begitu saja oleh papa nya.

Tidak salah jika film ini diberi judul Coco, karena karakter inilah yang menyambungkan antara masa lalu dan masa kini sebuah keluarga. Karena karakter ini yang membawa pesan mendalam tanpa perlu banyak berkata-kata. Pesan bagi anak-anak yang telah dewasa untuk tidak melupakan kakek, nenek, dan buyutnya. Juga pesan bagi orang tua untuk selalu ada dan meninggalkan kesan mendalam bagi anak-anaknya.

What this movie is all about
Jika ada satu kata tentang film ini, maka kata itu bukan Meksiko, atau Musik, atau bahkan Coco. Jika ada satu kata yang harus dipilih untuk menggambarkan film ini. Maka kata itu adalah Keluarga. Ya, film ini adalah tentang keluarga. Bagaimana kita terkadang membenci keluarga kita sendiri, dan di lain waktu kita justru merindukannya mati-matian. Hal-hal yang dirasakan seseorang dalam sebuah keluarga dimunculkan dalam film ini, bukan hanya dalam bentuk narasi dan cerita, tapi sampai ke dalam bentuk emosi. Mulai dari moment yang menguras emosi, ketika harus memilih antara panggilan hidup dan keluarga, ketika kabur dari rumah, ketika merasa tidak dirindukan, ketika disalahmengerti, ketika merasa tidak dipahami, ketika dilupakan oleh keluarga sendiri. Hingga momen-momen yang haru-bahagia, ketika seorang anak kembali bertemu dengan orang-tuanya, ketika kenangan indah yang telah lama hilang muncul kembali, ketika keluarga dapat memahami dan menerima diri kita seutuhnya, ketika semua keluarga berkumpul dan berbahagia.

There's a twist too
Secara pribadi aku menyukai film yang memiliki twist. Dan film Coco punya hal ini. Apa twist nya? Terlalu spoiler jika saya menuliskannya disini. Dengan lelucon dan pesan moral yang begitu mendalam, justru twist ini malah jadi seperti pelengkap film. Twist yang membuat penonton mengernyitkan dahi dan berkata 'Kok begitu?', 'Ooh, ternyata selama ini begini!'. Film ini bukan film hiburan dengan plot datar, atau film dengan twist yang bisa ditebak. Tapi jangan takut dan khawatir, meskpun spoiler, saya ingin mengatakan bahwa film ini berakhir dengan baik-baik saja. Yang memang selayaknya di film-film Disney.

In the end, this movie is very recomended for you to watch, especially with your beloved family.

Buat yang jauh dari anggota keluarga, atau kehilangan anggota keluarga, siap-siap membawa tissu karena air mata Anda akan tumpah.


0 komentar:

Posting Komentar