Apa itu IP BTTS? Dan mengapa saya menyebutnya sebagai fenomena? IP
BTTS kepanjangan dari Indonesia Power Bebas Tanpa Tips dan Suap. Yaitu program
dari PT. Indonesia Power (yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut IP), untuk
mencegah pegawai IP menerima imbalan gratifikasi dari pihak ke-3 atau mitra
kerja. Dan saya menyebutnya sebagai fenomena karena saya ragu lima tahun kedepan program ini masih berjalan konsisten dan menghasilkan budaya bersih.
Tulisan ini dibuat oleh penulis yang bukan merupakan karyawan IP namun
telah bekerja berdampingan dengan IP selama lebih dari 9 tahun, sejak 2006.
Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, budaya menerima gratifikasi dari
mitra kerja kepada karyawan IP telah teramat membudaya dan berurat akar.
Sehingga program IP-BTTS yang dicanangkan oleh direksi ini pun kemungkinan
tidak efektif. Terutama di bagian-bagian yang erat kaitannya dengan mitra kerja
seperti di bidang pemeliharaan, rendal (perencanaan dan pengendalian),
logistik/procurement sampai dengan keuangan.
Mengapa IP BTTS
menjadi kurang efektif? Paling tidak menurut pandangan penulis yaitu
belum ada mekanisme sanksi yang tegas bagi yang terbukti menerima gratifikasi.
Contoh kasusnya:
Bagaimana jika yang
menerima gratifikasi ternyata adalah karyawan IP yang kompeten secara teknik,
memiliki skill tinggi, sangat dibutuhkan oleh perusahaan dan memiliki pengaruh
yang luas. Apakah IP berani menghukum atau melepas orang tersebut?
Bagaimana jika yang
menerima gratifikasi bukan hanya satu atau dua orang, namun seluruh jajaran
personil di bidang pemeliharaan melakukannya. Beranikah IP merestrukturisasi
dan mengganti orang-orang yang terlibat gratifikasi? Kalaupun berani, apakah IP
memiliki orang-orang yang kompeten dan bersih untuk mengganti banyak posisi
tersebut?
Bagaimana jika yang
terbukti menerima gratifikasi adalah level eksekutif? Seperti jabatan manajer,
general manager sampai direksi. Apakah IP berani bertindak tegas kepada jajaran
level eksekutifnya?
Di budaya Indonesia
pada umumnya masih ada budaya 'enak ga enak'. Meskipun kita tahu orang yang
kita kenal melakukan tindakan KKN, seperti menerima gratifikasi, yang
jelas-jelas dilarang dalam peraturan perusahaan. Kita masih ragu, sungkan dan
tidak enak melaporkan orang tersebut. Mengingat, toh dia 'cuma' menerima
gratifikasi, pekerjaannya lancar tidak ada masalah, selama tidak mencuri. Kita
juga masih memandang keluarga orang tersebut. Bagaimana jika orang yang
menerima gratifikasi tersebut kita laporkan lantas ia dikenai sanksi
diberhentikan secara tidak hormat. Bagaimana nasib keluarganya? Kita masih
berpikir seperti itu.
Lagipula, sudah
menjadi rahasia umum jika praktik suap-menyuap, pemberian gratifikasi masih ada
di IP. Meskipun tidak sesubur dulu. Memang dari karyawan IP tidak
terang-terangan meminta bagian. Tapi terasa bagi mitra kerja, jika mitra kerja
terbiasa memberikan sesuatu maka pekerjaan dan proses administrasi lainnya
terasa lebih lancar. Beda jika mitra kerja memutuskan untuk menjadi 'bersih'
mengikuti prosedur yang ada. Ada saja hal-hal kecil yang menjadi penghalang.
Bahkan salah ejaan di penawaran harga atau tagihan saja bisa jadi alasan
mengapa kontrak belum diproses atau tagihan belum dibayar. Yang itu semua
sebenarnya tidak terlalu penting jika ada gratifikasi.
Gratifikasi bukan
hanya dalam bentuk amplop dan tidak harus jumlahnya besar. Gratifikasi yang
dilarang IP juga termasuk ajakan makan bersama, memberikan
barang/makanan/rokok. Maaf kali ini penulis belum bisa memberikan alternatif
solusi bagi permasalahan penerimaan gratifikasi yang ada di IP. Karena masalah
ini sudah terlampau rumit dan berurat akar. Usulan yang mungkin bisa saya berikan antara lain dengan merestrukturisasi karyawan IP, mengganti personil-personil tua dengan personil
muda, melakukan doktrinisasi anti KKN, melakukan fit & proper test,
mendatangkan KPK.
Saya tahu,
memberantas budaya gratifikasi ini mudah untuk dikatakan namun sulit untuk
dilakukan. Namun sulit sebenarnya bukan masalah jika keinginan kita cukup kuat.
0 komentar:
Posting Komentar