Hidup ini sementara,
akhirat selama-lamanya. Seorang sufi pernah duduk diam di sebuah jembatan, ia
makan tidur di jembatan itu. Kemudian ada orang yang terusik dengan tingkah
laku sufi tersebut kemudian bertanya 'wahai syekh mengapa kamu makan tidur di jembatan?
bukankah lebih nyaman jika kamu melanjutkan perjalananmu dan makan tidur
setelah kamu sampai di rumah? Syekh itu menjawab, aku hanya menirukan apa yang
dilakukan orang banyak terhadap kehidupan dunia ini, bukankah kehidupan dunia
ini laksana jembatan, dan akhirat laksana rumah kita yang sebenarnya. Banyak
orang yang lupa rumahnya dan justru nyaman berada di jembatan, tidak sadar
bahwa jembatan tersebut sudah ditakdirkan untuk dirubuhkan suatu saat.
Ada lagi cerita
mengenai seorang sufi yang mendapat tamu dari negeri yang jauh, kemudian tamu
tersebut heran di rumah sufi tersebut tidak banyak perabotan, hanya alas tidur
dan pakaian serta alat makan seadanya. Kemudian sang tamu bertanya, wahai tuan,
dimanakah perabotanmu? kulihat rumahmu kosong. Kemudian sang sufi balik
bertanya, dimanakah perabotan kamu? sang tamu dengan refleks menjawab, saya kan
hanya bertamu disini, saya tidak perlu membawa perabotan. Sang sufi langsung
menyahut 'begitupun aku, aku juga seorang tamu di dunia ini'
Imam Ghazali pernah
ditanya mengenai selama-lamanya itu seperti apa? Kemudian ia membuat
perumpamaan seperti ini: Seandainya bumi ini dipenuhi biji jagung, dari palung
laut terdalam hingga puncak gunung tertinggi. Dan setiap seribu tahun sekali
ada seekor burung yang turun dari langkit ke bumi kemudian mematuk satu biji
jagung, kemudian kembali lagi seperti itu pula setiap seribu tahun. Sampai
dengan biji jagung di muka bumi ini habis sama sekali, maka akhirat itu lebih
lama dari itu.
0 komentar:
Posting Komentar