Seringkali kita mengkasihani orang lain. Ketika melewati pengemis anak-anak di trotoar,
ketika bertemu mereka yang sudah tua renta masih meminta-minta di tengah
kemacetan, ketika melihat orang-orang tua ditelantarkan anaknya di panti jompo, ketika
mendapati anak balita yang sudah tidak punya ayah ibu lagi, ketika mendengar
anak-anak SD harus bekerja dan putus sekolah karena tak ada biaya. Ketika semua
berita itu sampai melalui indra kita, kita merasa kasihan. Ada perasaan
terenyuh, sedih, ingin menolong. Orang bilang, ini perasaan empati. Rasa empati
ini menandakan kita adalah satu sebagai umat manusia. Kita dan mereka yang
setiap harinya mengemis di jembatan penyebrangan hakikatnya adalah sama.
Sama-sama manusia. Mereka yang masih memiliki rasa kemanusiaan pasti merasakan
empati, merasakan kasihan, tatkala mendapati manusia lain yang jauh kurang
beruntung dibanding dirinya. Mereka yang hatinya tak tersentuh, mereka yang tak
merasa kasihan atau minimal terenyuh. Mungkin perlu dipertanyakan lagi rasa
kemanusiaannya. Kita merasa kasihan karena kita merasa sama-sama manusia. Rasa
kasihan yang kita punya menandakan kalau kita masih manusia.
Rasa kasihan yang
sebelumnya saya ungkapkan adalah rasa kasihan karena kekurangan hal-hal yang
sifatnya fisik. Kekurangan uang, kekurangan makanan, kekurangan tempat tinggal,
kekurangan perhatian. Namun ada jenis rasa kasihan lain yang seringkali terlupakan.
Adakah dari kita yang pernah merasa kasihan kepada mereka yang kekurangan dalam
hal spiritual, dalam hal hubungannya dengan Allah. Pernahkah kita merasa kasihan
kepada seorang direktur yang sering melalaikan shalat? Pernahkah kita merasa
kasihan kepada orang kaya yang belum juga mengunjungi tanah suci Mekkah?
Pernahkah kita merasa kasihan kepada pejabat yang jarang berkunjung ke masjid?
Mungkin masih sedikit orang yang mengkasihani golongan orang yang seperti itu.
Golongan orang yang jauh dari Allah, golongan orang yang lalai dalam ibadah,
golongan orang yang lemah imanya.
Rasa kasihan memberi
kita dorongan untuk bertindak membantu mereka lepas dari kondisi
keprihatinannya, kondisi yang membuat kita merasa kasihan. Jika kita kasihan
terhadap orang yang lapar, kita terdorong untuk memberinya makanan. Jika kita
kasihan terhadap orang yang jarang ke masjid, tindakan apa yang lantas kita
lakukan? Jika kita kasihan terhadap orang yang melalaikan shalat, lalu apa yang
kita perbuat? Jika tidak ada tindakan nyata yang kita perbuat, maka
jangan-jangan kita ini belum kasihan kepada golongan orang-orang yang
kekurangan secara spiritual. Atau malah kita ini justru termasuk orang-orang
yang patut dikasihani secara spiritual.
Padahal kekurangan
dalam hal duniawi adalah kekurangan yang sifatnya sementara dan dapat dimaklumi
Allah. Jika seorang manusia sakit-sakitan, kelaparan, miskin, hidup
terlunta-lunta, sendirian, ditinggalkan, Allah masih tidak marah. Allah masih
sayang selama orang tersebut masih taat. Namun jika kekurangannya dalam hal
keimanan dan ibadah, maka kekurangan itu akan menjadi masalah besar bukan hanya
di dunia namun terlebih lagi di akhirat. Orang yang kekurangan dalam hal iman
dan ibadah, di dunia akan merasakan kegelisahan, di akhirat akan merasakan
penderitaan yang abadi. Jika seseorang lalai terhadap shalatnya, jarang ke
masjid, berakhlak buruk, mengambil yang bukan haknya, menyakiti orang lain,
maka Allah akan marah. Tidakkah kita lebih kasihan kepada orang tersebut
dibanding orang yang hanya kekurangan masalah dunia.
Sekarang ini, jika
kita boleh memilih. Apakah kita lebih kasihan terhadap pengemis yang duduk di
trotoar, tiap hari terpapar sinar matahari yang tajam, ketika malam tidur hanya
beralaskan tikar dan beratapkan langit, namun ketika adzan berkumandang ia beranjak
ke masjid? Ataukah kita lebih kasihan kepada eksekutif muda yang tampan
dan mapan, tinggal di apartemen elite, mengendarai mobil keluaran terbaru, namun
ketika waktu shalat hampir habis ia tak kunjung beranjak dari kursi kantornya
yang empuk? Atau justru kita malah kasihan terhadap diri sendiri karena tak
punya keduanya?
0 komentar:
Posting Komentar