Where is your home? I live in Bogor
Standard question with a standard answer in a standard world. If standard mean ideal, well it good for you, like most of the people. But if you like me, articulating standard as boring. There is a problem, when there's a problem so does the breakthrough.
Peradaban tidak akan maju oleh orang-orang yang berpikir bahwa standard yang ada saat ini sudah ideal. Peradaban menjadi lebih baik oleh orang-orang yang tidak puas dengan standar yang ada, orang-orang yang mempertanyakan tentang hal-hal yang sudah normal. Dahulu ketika malam hari, lantas dibutuhkan instrumen penerangan. Orang kebanyakan saat itu sudah puas dengan nyala lampu minyak dan lilin. Namun ada orang yang merasa gelisah dan berkata 'seharusnya bisa lebih terang lagi'. Lampu minyak dan lilin telah menjadi standar penerangan di malam hari pada waktu itu. Zaman tatkala bohlam dan neon belum terpikirkan.
Back to home...
Ada beberapa ungkapan bahasa inggris yang tidak bisa diterjemahkan secara paripurna ke dalam bahasa indonesia. Salah satunya adalah kata, 'home', yang secara umum merujuk pada 'rumah'. Namun ketika kata itu berwujud sebagai 'rumah' maka ia kehilangan makna inti dari sebuah kata 'home'. Home bukanlah direpresentasikan oleh sebuah bangunan, home adalah perasaan ketika kita berada dalam suatu bangunan, yang seringkali terwakili oleh rumah. Perasaan nyaman, perasaan terpenuhi, perasaan untuk tidak perlu lagi berpura-pura. Tempat dimana kita bebas melepaskan topeng sosial, tempat dimana kita bebas untuk menjadi diri sendiri.
Ngomong-ngomong soal rumah (untuk sementara anggaplah home itu kita terjemahkan sebagai rumah). Ada pengecilan makna tentang rumah. Rumah saya di bogor, rumah saya di bekasi, rumah saya di bandung, dll. Padahal, rumah itu bukan tentang lokasi, rumah itu tentang perasaan nyaman. Apalah artinya kita tinggal di sebuah bangunan yang bagus manakala hati tak terasa nyaman berada disitu. Pada saat itu lah, pada moment itu lah kita sejatinya telah kehilangan rumah.
Ada orang yang dianugerahi oleh Allah. Anugerah berupa kehilangan rumah, bahkan keluarganya. Jika tidak secara fisik, mungkin secara emosional. Kehilangan tempat yang bisa membuatnya nyaman. Mengapa itu merupakan anugerah? Karena Allah mau orang itu bertambah bijaksana, dan tidak ada pelajaran kebijaksanaan di suatu tempat yang bernama kenyamanan. Kebijaksanaan hanya bisa diekstrak dari kegelisahan dan perasaan semacam itu.
Dari hilangnya rumah, orang itu bisa merenung tentang rumah baru, bukan dalam artian fisik. Orang itu kan menemukan makna baru dari sebuah rumah bukan lagi sebagai bangunan fisik, bukan lagi sebagai dinding dan atap, bukan lagi sebagai anggota keluarga yang menemani.
Hingga ia pada akhirnya akan merasakan rumah bahkan ketika ia langsung di bawah bintang-bintang.
Hingga ia pada akhirnya akan merasakan rumah bahkan ketika seorang diri.
Baginya cukup dimana kaki ini berpijak itulah rumah. Tak perlu atap, dinding, apalagi perabotan.
Baginya cukup ia dan Tuhannya yang membuatnya nyaman serasa di rumah.
Di titik ini saya teringat pernah bertemu dengan orang yang berpergian jauh ke Banten dari rumahnya di Jawa Timur sana, dengan berjalan kaki. Saya berpikir waktu itu, 'orang ini sudah kehilangan pikirannya, meninggalkan rumah dan keluarganya, jauh-jauh berjalan kaki hingga ke Banten'. Ternyata saya salah... Orang itu bukan kehilangan pikiran sehat, hanya pikiran saya saja yang terlalu picik. Orang itu ternyata sedang belajar untuk menjadikan setiap jengkal bumi Allah yang dipijaknya serasa rumahnya. Orang itu sedang belajar untuk meletakkan rasa nyaman bukan pada sebuah bangunan atau sebuah daerah. Orang itu sedang belajar untuk membawa rumahnya didalam hati.
Because home is where the heart is
And heart is where the home is
0 komentar:
Posting Komentar