Bila kamu bertanya kepadaku rumahku dimana? Aku akan
menjawab sekarang aku bertempat tinggal di daerah ini. Adapaun jawaban langsung
dari pertanyaan itu tak sangup ku jawab. Rumah, atau dalam bahasa inggrisnya ‘home’,
telah lama hilang dari hidupku. Kemungkinan sejak aku mulai kuliah, aku telah
kehilangan arti sebuah rumah. Hingga akhirnya aku bekerja, menikah, punya anak,
tak kunjung pula ku temukan suatu bangunan, suatu tempat yang layak ku sebut
rumah.
Aku merasa tidak ditakdirkan untuk tinggal di suatu tempat. Aku
merasa tak punya rumah. Aku merasa tak punya tempat untuk pulang. Aku tak tahu
di depan sana apakah ada suatu tempat atau suatu bangunan yang mau menampung
diriku di masa tua nanti. Ataukah ku harus terus menerus berpindah dari suatu
tempat ke tempat lain. Dari suatu bangunan ke bangunan lain. Iya, fisikku
mungkin bisa berpindah-pindah, tapi hatiku memerlukan tempat berlabuh.
Mungkinkah ini kutukan, ataukah memang sudah takdir.
Mungkinkah ada di antara manusia yang memang ditakdirkan untuk tidak tinggal
menetap di suatu tempat? Mungkinkah itu aku? Tidak tahu juga, tidak ada yang
tahu tentang takdir kecuali Ia yang menciptakan takdir itu sendiri. Tidak juga
iblis atau malaikat. Namun Tuhan itu bijaksana, maha bijaksana. Memang ia tak
memapukan kita sebagai manusia untuk mengetahui takdir, tapi Ia membuat kita
manusia dapat merasakannya. Dan yang saat ini aku rasakan adalah; Ia tak
mentakdirkanku untuk tinggal menetap di suatu tempat.
Bekasi, Depok, Cilegon, Surabaya, Serang, Tangerang, Jakarta, Bayah ... what next?